“… karena durian tak mungkin berbuah nangka”

Selasa, 26 Juli 2011

| | | 0 komentar
“Kenapa kaki Ayah tu?”
“Luka dan berdarah”
“Belalah kaki ayah…, cepat sembuh ya Yah…”

Itulah sepenggal dialog antara aku dan putri kecilku yang baru lewat dua tahun pada Sabtu pagi akhir pekan lampau. Seperti biasa, si kecil selalu menunjukkan ketertarikan dan tanda tanya akan suatu hal dan seperti biasa pula, aku selalu berusaha sebaik mungkin meladeni ketertarikannya itu. Aku ingat betul ketika seperti pertama kalinya ia bertanya tentang apa, siapa dan bagaimana, waktu itu aku sangat takjub dan senang. Tapi seiring perjalanan waktu, pertanyaan-pertanyaan si kecil sudah menjadi hal biasa bagiku, dan aku –sama seperti orang tua lainnya- selalu menjawab sabar dengan memberikan jawaban yang logis, dan tak lupa menyederhanakan jawaban itu. Namun pagi ini dialog kami sangat menarik bagiku, tentang si kecil yang tak hanya bercerita dan bertanya, tapi juga memberikan semangat ; “cepat sembuh ya Yah..”

“Catatan 26”

Jumat, 22 Juli 2011

| | | 0 komentar
Secara formal, hari ini aku tambah umur, dari dua lima jadi dua enam. Ya, sengaja kutulis “secara formal”, karena faktanya umur ini terus bertambah setiap saat, bahkan kita sampai tak bisa menghitung seberapa pasti sebenarnya umur ini sekarang. 26 tahun sekian jam berapa detikkah umur ini sekarang? Sulit menentukannya karena detik terus berdetak, jarum kurus itu tak pernah mau peduli, tak sabar menunggu sebentar saja sampai kita bisa menghitung berapa jumlah tahun, jam dan detik dari umur ini. Intinya, hari ini, tanggal dua-dua Juli aku berulang tahun.

“Kerak Anomali”

Selasa, 19 Juli 2011

| | | 0 komentar
Jika harus memilih apa anugerah terbesar Tuhan terhadap kehidupan manusia, maka itu adalah pekerjaan sulit bahkan mungkin mustahil. Semua pemberian Tuhan itu terasa penting, bahkan sehelai rambut-pun sama pentingnya dengan kepala, bukankah banyak orang yang berani membayar lebih mahal atau bahkan sangat mahal untuk urusan rambut daripada untuk kebaikan isi kepala itu sendiri? Namun ada satu anugrah Tuhan tak-kasat-mata-tapi-ada yang harus kita syukuri, yaitu kepastian. Yah, Tuhan telah menciptakan kepastian hingga kita tak harus khwatir bahwa air pegunungan yang tengah kita minum secara tiba-tiba berubah menjadi api ketika lewat kerongkongan. Kita juga tak perlu khawatir jika air bak mandi yang kita basukan ke muka berubah menjadi cairan lava yang berpijar. Bayangkan kalau itu terjadi..., tapi tak usahlah dibayangkan, hanya akan buang-buang waktu, karena itu semua pasti tak akan terjadi. Pasti tak akan terjadi.

“Absurditas Kita (yang memalukan)”

Senin, 18 Juli 2011

| | | 0 komentar

Jika ada peristiwa paling tragis sepanjang sejarah, dimana nyawa manusia tak lebih berharga dari sampah kulit pisang, maka peristiwa tersebut adalah Perang Dunia II. Perang tersebut adalah contoh paling sempurna betapa manusia dapat lebih ganas dari monster-pembunuh-berlendir-lendir yang seringkali kita lihat di film-film. Tak terhitung banyak nyawa yang harus hilang, bahkan banyak jasad tak pernah sempat menikmati kubur, terlentang begitu saja ditempat ia mati, hingga lindap menjadi belulang yang busuk. Kematian menyergap bukan hanya para serdadu, tapi juga si kecil yang tengah suka bermain boneka dan kakaknya yang baru pandai memanjat pohon, mereka itu tak tahu apa-apa tentang kuasa yang diperebutkan para tiran.

“Gesture Berbentuk U yang Menguji”

Jumat, 15 Juli 2011

| | | 0 komentar
Negara kita ini, belumlah pantas disebut negara maju. Tak perlu menjadi professor ekonomi untuk punya pendapat demikian. Pasar-pasarnya masih berantakan, tak seperti pasar-pasar di Jepang yang seringkali kita lihat di tv ; tempat jual ikan saja bersihnya seperti teras masjid. Jalan-jalan masih banyak lubang, di antara lubang-lubang itu telah ada sejak zaman Jepang. Oleh karena itu, ketika mengendarai kendaraan engkau tak bisa sambil tralala-trilili, harus esktra waspada kalau tak ingin celaka sendirian. Sangat banyak sekali orang miskin, telah miskin sejak dulu, sejak masa nenek moyang, dan entah sampai kapan lagi harus menjadi miskin, walau sudah bangun sejak pagi-pagi buta untuk mecari nafkah bahkan ketika ayam jantan masih tertidur lelap.

Memaki-maki pemerintah adalah pilihan yang cukup banyak digunakan orang-orang untuk meluapkan kekesalan terhadap situasi ini. Kalau tak percaya, sekali-sekali pergilah ke kedai kopi, dengarlah bagaimana bapak-bapak berkomentar tentang pemerintah, komentar kebanyakan mereka sinis dan tajam, lebih tajam dari pedang zulqarnain milik Sahabat Ali yang melegenda itu. kalau memang tertarik dengan saranku yang ini, sebaiknya kawan hati-hati memilih kedai kopi, maklum, kebanyakan kedai kopi (yang tinggal sedikit) adalah tempat bermain domino, dan orang-orang itu tak tertarik membicarakan apapun selain batu-batu domino mereka.

“Kawan, Berapa Shafkah yang Akah Menyolati Jenazah Engkau Kelak?”

Kamis, 07 Juli 2011

| | | 0 komentar
Pada daerah yang tak sedang berperang atau tak terkena bencana alam, menyaksikan empat kematian dalam kurun waktu satu bulan dirasa agak kebanyakan, tapi itulah yang terjadi. Yah, kita tak bisa memohon kepada Tuhan agar cukup satu orang saja yang meninggal bulan ini, karena itu sepertinya bukanlah hal yang bisa untuk dimohon-mohon-kan. Sama seperti halnya dengan tanda tanya, tak seluruh urusan dapat kita bubuhi dengan pertanyaan, hanya menuntut satu hal saja ; patuh tanpa banyak cincong. Begitulah Tuhan merancang kehidupan.

Seperti biasanya, kematian selalu disambut dengan keterkejutan. Tak peduli bahwa fakta-fakta masa lalu menunjukkan bahwa siapa saja dapat mati tanpa tanda. Orang-orang selalu saja terkejut jika kawannya mati tanpa menunjukkan gejala. Agak payah memang untuk sampai pada sebuah pemahaman bahwa kematian tak sama dengan hujan. Hujan dimulai dengan gejala-gejala tertentu sehingga orang-orang bisa menyusun sebuah hipotesis ilmiah yang canggih bahwa hujan akan segera turun, lalu bersiap-siap, sedia payung sebelum hujan. Kematian tidaklah seperti itu, beberapa memang didahului oleh tanda tapi banyak juga yang datang mendadak. Maka, hipotesis apapun tak akan dapat menduga kapan persisnya kematian akan datang. Barangkali inilah sebabnya tiada pepatah yang mengatakan ; sedia kain kapan dan batu nisan sebelum mati.

POLISI TIDUR

Sabtu, 02 Juli 2011

| | | 0 komentar
Jika kawan adalah seorang yang agak beruntung karena memiliki kendaraan pribadi, maka keberuntungan itu seolah-olah terlupakan begitu saja begitu menemukan polisi tidur alias tanggul di jalanan. Bagaimana tidak, kenyamanan berkendara harus rusak oleh benda aneh melintang jalan itu. Sensasi ketika harus melewati polisi tidur tidaklah dapat dikatakan sebagai sebuah kenikmatan, bahkan sebaliknya, dapat membuat perut menjadi nyeri –apalagi jika sistem shock breaker sudah afkir-. Tak heran kalau ibu-ibu hamil sangat memusuhi polisi tidur, karena benda aneh itu hanya akan membuat penderitaan sembilan bulan mereka bertambah dramatis.

Maka sah-sah saja jika akhirnya polisi tidur dibenci para pengguna kendaraan. Si tergesa-gesa yang hampir telat masih kantor, harus pandai-pandai menahan kesal karena polisi tidur merampas sekian menit waktu yang hanya tinggal sedikit. Polisi tidur juga berhasil memaksa si ibu hamil yang hampir melahirkan untuk berteriak keras meminta suaminya menurunkan kecepatan kendaraan, walau sesungguhnya ia tak sabar untuk segera sampai ke bidan, agar anaknya tak lahir di jalanan. Di sisi lainnya, bapak-pembuat-polisi-tidur juga benci setengah mati dengan polisi tidur yang dibuat oleh bapak-bapak lain.