POLISI TIDUR

Sabtu, 02 Juli 2011

| | |
Jika kawan adalah seorang yang agak beruntung karena memiliki kendaraan pribadi, maka keberuntungan itu seolah-olah terlupakan begitu saja begitu menemukan polisi tidur alias tanggul di jalanan. Bagaimana tidak, kenyamanan berkendara harus rusak oleh benda aneh melintang jalan itu. Sensasi ketika harus melewati polisi tidur tidaklah dapat dikatakan sebagai sebuah kenikmatan, bahkan sebaliknya, dapat membuat perut menjadi nyeri –apalagi jika sistem shock breaker sudah afkir-. Tak heran kalau ibu-ibu hamil sangat memusuhi polisi tidur, karena benda aneh itu hanya akan membuat penderitaan sembilan bulan mereka bertambah dramatis.

Maka sah-sah saja jika akhirnya polisi tidur dibenci para pengguna kendaraan. Si tergesa-gesa yang hampir telat masih kantor, harus pandai-pandai menahan kesal karena polisi tidur merampas sekian menit waktu yang hanya tinggal sedikit. Polisi tidur juga berhasil memaksa si ibu hamil yang hampir melahirkan untuk berteriak keras meminta suaminya menurunkan kecepatan kendaraan, walau sesungguhnya ia tak sabar untuk segera sampai ke bidan, agar anaknya tak lahir di jalanan. Di sisi lainnya, bapak-pembuat-polisi-tidur juga benci setengah mati dengan polisi tidur yang dibuat oleh bapak-bapak lain.


Tapi sesungguhnya polisi tidur tak betul-betul dibenci orang. Ibu hamil yang baru saja kuceritakan tadi, sekarang telah melahirkan. Dalam keadaan menimang bayinya yang lucu, si ibu berdoa dengan khusyu’, agar polisi tidur yang baru dibuat di jalanan depan rumah, kelak bisa mencegah agar sang anak tak bernasib malang seperti abangnya; patah tangan karena ditabarak sepeda motor ketika main layangan di jalanan tiga hari yang lalu. Ya, perasaan manusia akan keberadaan polisi tidur memang agak sulit dijelaskan; orang-orang benci polisi tidur tapi disisi lain butuh keberadaannya alias “benci-benci tapi rindu jua”.

Sekesal apapun kita terhadap keberadaan polisi tidur, hendaknya kekesalan itu tak membuat kita lupa bahwa sesungguhnya polisi tidur adalah perlambang dari pribadi kita. Polisi tidur adalah sesuatu yang lahir dari jiwa kita. Polisi tidur adalah karakter yang keluar dari mulut kita ketika kita tertidur pulas pada tengah malam, lalu si karakter duduk di tepi jalan, kemudian memutuskan untuk berubah menjadi polisi tidur. Oleh karena itu, setiap kali kita melihat polisi tidur yang melintangi jalan, maka sesungguhnya kita tengah melihat diri kita sendiri.

Kita adalah para pelanggar rambu-rambu, muncul polisi tidur, karena tanda-tanda tak cukup lagi untuk bisa mengatur. Kita adalah para pengebut, muncul polisi tidur, karena anak-anak yang bermain di jalan tak cukup lagi menyentuh jiwa agar kita berkendara lambat-lambat saja. Anak-anak main di jalanan karena tak punya lapangan tempat bermain, seluruh tanah kosong sudah dijadikan bangunan, muncul satu lagi polisi tidur. Kita adalah orang yang tak hormat lagi terhadap orang yang beribadah, polisi tidur muncul di depan masjid. Orang tua membiarkan anaknya yang belum cukup umur untuk membawa kendaraan, muncul satu lagi polisi tidur agar si anak tak menabrak anak lainnya, maklum, karena mereka menganggap sepeda motor itu bagai mainan untuk kebut-kebutan saja. Hanya polisi tidur yang mampu mereduksi semua kekacauan itu.

Ya, polisi tidur adalah tentang kita yang tidak tertib berkendara, tentang kita yang kurang bijak, tentang kita yang tak lagi kenal masjid untuk dihormati, tentang pembangunan yang membabat habis lapangan bermain, tentang orang tua yang tak kuasa melarang anak-anak mengendarai sepeda motor. Polisi tidur adalah kita ; manusia Indonesia yang agak suka melanggar peraturan dan hidup kurang bijak.

Mari hancurkan seluruh polisi tidur dengan hidup lebih bijak…


Setelah tulisan ini selesai, aku ingat satu guyonan aneh ; polisi tidur tak mempan disuap, sama seperti rekannya yang bernama patung polisi. Apa maksudnya? Entahlah…

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini