“ ah…. Demikian terang jalanku”

Jumat, 28 Januari 2011

| | | 0 komentar


Memang bukan kampus nomor satu. Bahkan kampus ini baru saja kukenal satu bulan ini, oh rupanya ada perguruan tinggi di sini ya...” begitulah ketercenganku ketika pertama kali memasuki halamannya. Tercengang karena hampir tiap saat ku lewat di depannya, tapi tak tahu bahwa tempat yang sering kulewati adalah sebuah kampus. Jika engkau melewati sebuah tempat dan engkau tak pernah menyadari keberadaannya, maka dapat dipastikan tempat itu tidaklah penting. Seperti itulah halnya keberadaan kampus ini, bukanlah sebuah kampus penting. Setidaknya untuk kebanyakan orang.
 
Tahukah kau kawan, kampus yang tak penting ini telah kuberi tempat khusus dalam hidupku. Telah kupahat namanya di dalam hati, lalu garis-garis pahatannya yang dalam itu kuisi dengan leburan emas dua puluh empat karat. Jadilah nama kampus ini seperti prasasti kerajaan kuno, tak kan tertelan oleh ruang dan waktu. Walau akhirnya kampus ini hilang jejak karena tidak ada lagi mahasiswa yang belajar di sana atau dilumat tsunami karena berada di zona merah, sama seperti halnya kerajaan kuno, namanya akan tetap abadi, karena prasasti bertulisan emas tersimpan baik dalam hati. Seperti yang kubilang tadi, tak mempan dimakan ruang dan waktu…
###
Orang bilang bahwa aku terlalu norak dengan cita-cita yang kusemai semenjak kecil. Bahkan pada awalnya aku dianggap tidak realistis. Telah sangat lama kutanam dalam hati bahwa jikalau besar nanti aku harus menjadi seorang dosen. Maka seluruh energy ku arahkan untuk menggapai cita-cita itu. Jika sesuatu akan membawaku melenceng dari cita-cita utama ini, maka untuk mempertimbangkannya saja aku tak sudi. Istilahnya begini ; tak ada kompromi! 

“Aku dan Tuan Cati tentang Bocah yang Ketakutan”

Minggu, 23 Januari 2011

| | | 1 komentar
…Tiba-tiba bocah kecil itu terpekik lalu berlari. Wajah imutnya pias, ketakutan jelas membayang disana. Sementara tangis bercucuran dari mata beningnya. “Tidak Ma…!”, begitu kata-kata yang keluar dari bibirnya yang bergetar.
###
Seorang muridku, beberapa tahun lampau harus mengakhiri hidup di jalan raya. Pagi-pagi sekali dalam perjalanan ke sekolah tiba-tiba ia hilang keseimbangan lalu terjatuh. Perkara “hilang keseimbangan” yang dialaminya setidaknya adalah hasil dari penggambungan antara tiga hal, kecepatan tinggi, jalan yang buruk karena belum diperbaiki pemerintah dan gaya gravitasi bumi. Maka, tak sesuatupun terjadi dengan “tiba-tiba”. Tuhan telah menetapkan sunnah, alampun tunduk dengan takzim, proses bejalan tahap demi tahap tanpa disadari. Maka, kata “tiba-tiba” yang akhirnya harus kucoret adalah kata yang muncul akibat kealpaan kita akan proses-proses rumit yang tak terlihat. Bukankah demikian?

kata dan cinta

Rabu, 19 Januari 2011

| | | 0 komentar
ramulah kata-kata
bumbui dengan cinta
kata warna cinta
kan membelai hati lalu menggugah nurani
menulislah karena cinta, cinta untuk semua

“ DIAN SASTRO vs AMAI-AMAI…”

Jumat, 14 Januari 2011

| | | 1 komentar
Tahukah kawan dengan kata “amai-amai”. Yaitu panggilan khas untuk ibu-ibu penjual sayuran…
 
Si Dian (Sastro) senyum-senyum sambil menggeraikan rambut hitamnya yang mengkilat-kilat. Di dekatnya amai-amai tengah berteriak-teriak serak untuk mempromosikan sayur jualan mereka. Jika mendegar teriakan mereka, meliat wajah mereka, melihat gesture tubuh mereka, amai-amai tersebut sangatlah lelah, mungkin mereka merasa bahwa mereka tak diurus pemerintah, sampai-sampai harus jualan sayur bukan pada tempat yang layak dan wajar. Mungkin juga mereka lelah untuk mengakali agar keuntungan jual sayur yang tipis itu dapat digunakan untuk membeli beras yang harganya lebih tinggi dari pohon kelapa berumur lima puluh tahun. Sementara itu, si Dian masih saja senyum-senyum manis sambil menggeraikan rambut hitamnya yang mengkilat. Iklan produk shampoo bergambar si Dian itu, tepat menghadap ke hidung para amai-amai. Masih ingatkah amai-amai membeli shampoo jualan si Dian? Entahlah, hanya amai-amai dan Tuhan sajalah yang tahu.

“Pergi Jauh Untuk Kembali Pulang”

Senin, 10 Januari 2011

| | | 1 komentar
Aku sungguh terpana melihat sosok lelaki dewasa di depanku. Pandangan kusisirkan pada sosok tubuhnya, hasilnya adalah aku menjadi benar-benar yakin bahwa ia adalah kawan lamaku. Terus terang, kali terkahir ku melihatnya, sosoknya hanyalah seorang remaja. Wajar sebenarnya bahwa sosok didepanku ini telah berubah menjadi seorang lelaki dewasa, maklum, terakhir kali ku bertemu dengannya adalah delapan tahun lampau. Delapan tahun terasa tak lama jika telah dilalui, ia hanyalah bagai tirai yang sesaat menutup pandanganku dari kawan remajaku, ketika tirai itu tersibak, sang kawan tiba-tiba berubah menjadi dewasa. Seperti sulap saja. Aku dibuat terpana. Ia pun begitu. Begitulah sensasi bersua dengan kawan lama dimana tanpa kita sadari waktu telah merubah segalanya.

“...Tahu tapi Lupa”

Senin, 03 Januari 2011

| | | 2 komentar

Abih cakak baru takana silek … (pepatah minangkabau)
Tersebutlah seorang murid yang belajar ilmu silat, bermacam jurus telah dikuasai dengan baik. Dalam laga-laga pada latihan silat, ia mampu menerapkan seluruh jurus untuk meraih kemenangan. Performa sang murid begitu sempurna dan nyaris tanpa cela. Suatu hari, entah bagaimana ceritanya, si murid terlibat perkelahian yang sebenarnya. Keanehan terjadi, pada perkelahian itu, si murid yang berbakat amburadul makan tangan dan kaki lawannya. Tak sedikitpun mengesankan bahwa sang murid malang yang amburadul itu pernah berlatih silat. Setelah perkelahian itu usai, dengan bibir bengkak dan badan sakit-sakitan, ia berpikir sendirian ; ah seharusnya saya keluarkan jurus ini dan itu, harus begini dan begitu. Habis/selesai perkelahian baru ingat olehnya silat. Kondisi-kondisi serupa inilah yang dimaksud oleh pepatah Minangkabau yang ku tulis nun di atas sana.
# # #
Siang ini, ku berkesempatan becerita kesana-kemari bersama seorang kawan. Da Jup kupanggil dirinya. Ia lahir tahun enam puluh sembilan. Tapi jangan salah, walau lewat empat puluh, tapi pembawaan Da Jup seperti tiga puluh tahun. Baru beberapa bulan ini ku kenal ia. Badannya tinggi besar, wajahnya jenaka, apalagi gaya bicaranya, juga jenaka. Walau jenaka, wajahnya ganteng. Kulitnya kuning. Orangnya santai. Buktinya, walau lebih empat puluh ia tetap memintaku memanggilnya dengan sebutan Uda, bukan Pak.