“Sejarah yang Berkisah”

Senin, 25 April 2011

| | | 0 komentar

Alam senantiasa mempertontonkan pertunjukan yang pasti selalu menarik untuk disimak. Sudah sejak dulu kala Tuhan memberikan sebuah pencerahan, bahwa segala detil yang terjadi di Alam harus diperhatikan dengan seksama, jangan sampai terlewatkan. Mengingat bahwa segala proses yang terjadi di alam bukanlah perkara kecil, mengingat bahwa apa yang terjadi adalah sesuatu yang berharga, mengingat bahwa dengan memperhatikan kejadian kita akan semakin bijak dan dekat dengan Tuhan, maka tak heran kalau Tuhan yang Maha Bijak itu menyatakan bahwa alam adalah “ayat-ayatNya”, ayatollah.

Ya, belajar dari alam adalah sebuah keniscayaan yang bersifat mutlak –selain belajar dari kitab suci tentunya-. Manusia adalah makhluk yang diberi kuasa akan alam ini. Walau begitu bukan berarti manusia sudah pasti akan selalu pintar. Tidak. Manusia harus  selalu belajar dan belajar, alam senantiasa menyajikan banyak tamsil yang selalu menarik untuk dipelajari. Manusia adalah khalifah, wajib mengurusi alam,  sementara itu alam terus saja menunjukkan tabiatnya dan laku adatnya. Perhatikan tabiat dan adat mereka, agar tak salah urus dan salah sikap.

“Selamat Merindu…”

Minggu, 24 April 2011

| | | 0 komentar
Siapa yang tak kenal Alexender Agung. Ia adalah raja besar dari masa lalu yang memaksa dunia untuk tidak melupakan namanya hingga sekarang. Orang-orang terus membicarakannya, seolah ia masih hidup, atau setidaknya seolah ia baru saja mangkat kemarin sore. Sejak mulai melangkah sekitar 334 SM bersama pasukannya keluar dari Makedonia di Yunani sana, ia tak terhentikan, unstopable. Kerajaan-kerajaan besar yang menjadi pusat peradaban dunia pada waktu itu takluk dibawah kekuatannya. Mesir menjadi saksi bagaimana keperkasaan seorang Alexander. Sampai sekarang tiada yang berani berpikir untuk menukar nama kota Alexandria (Iskandariyya) dengan nama yang lain, karena orang-orang kagum dan segan berat terhadap sosoknya. Lebih dari itu, ia diakui di Mesir sebagai seorang Firaun. Siapakah sebelumnya orang asing yang diangkat menjadi Firaun?

AIR UNTUK ORANG-ORANG DAHAGA

Selasa, 19 April 2011

| | | 0 komentar

Dulu sekali, sekitar 1500 tahun sebelum masehi, bangsa Hittit –entah bagaimana awalnya- menemukan cara untuk mengolah bijih besi menjadi berbagai perkakas dan senjata. Maka, bangsa dari daerah Anatolia itu mencatatkan diri mereka dalam kitab sejarah sebagai bangsa yang memulai sebuah perubahan besar, dimana era perunggu berganti dengan zaman besi. Sebuah rekor baru.
Sayangnya Bangsa Hittit agak pelit dalam urusan olah mengolah bijih besi ini. Mereka tak rela membagi pengetahuan pandai besinya kepada bangsa lain. Bagi mereka, pengetahuan pengolahan bijih besi seumpama nyawa, hanya satu dan tak bisa dibagi-bagi dengan murah hati kepada para tetangga. Bangsa Hittit sukses menutupi pengetahuan itu hingga hampir tiga ratus tahun lamanya.
Dengan teknologi perkakas dan senjata besinya, bangsa Hittit meneguhkan dominasinya atas bangsa lain, baik secara ekonomi apalagi militer. Pedang-pedang besi anak-anak Anatolia itu tentu saja lebih berkelas dari pada senjata perunggu lawan-lawan mereka. Bangsa Hittit menjadi yang terkuat, seumpama sabana Afrika, mereka adalah singa sang predator utama sedangkan bangsa-bangsa lain tak lebih dari rusa-rusa yang lemah. Disini tersaji sebuah fakta yang tak terbantahkan, bahwa sejak dulu kala, para pemenang adalah selalu orang-orang yang memiliki ilmu dan pengetahuan.

“Lampu Redup Para Pendosa Quraisy, Lampu Terang Pasukan Badar”

Rabu, 06 April 2011

| | | 0 komentar
Sama seperti rumah lainnya, rumah ini telah lama dialiri listrik. Oleh karena itu, rumah ini tak lagi menggunakan cara-cara tradisional untuk urusan penerangan jika gelap malam datang berkunjung. Seluruh ruangan telah menggunakan lampu, termasuk dapur. Oh ya, dapur rumah ini istimewa, disaat ruang lain telah penuh oleh segala tetek bengek modernitas, tidak demikian dengan dapurnya.

Engkau tak akan menemukan peralatan masak modern di sana, jangankan kompor gas atau kompor listrik (tepat nggak ya istilah kompor listrik?), kompor minyak tanah pun tak akan bersua disana. Ya, dapur ini tetap mengandalkan kayu bakar sebagai sumber energy untuk mengolah makanan. Entah apa alasan si pemilik rumah membiarkan dapur ini tetap purba berlantai tanah berdinding rotan, barangkali si pemilik rumah adalah pecandu fanatik cita rasa masakan paling tradisional. Bukan rahasia lagi bahwa makanan yang dimasak pakai kayu bakar punya cita rasa unik yang lezatnya tak terkata, baik itu nasinya, gulainya, rendangnya, atau samba ladonya, wuiih tak tahan membayangkannya, ada rasa-rasa asap yang gurih. Pada zaman sekarang, tradisi memasak di dapur ini adalah kelangkaan yang indah, persis sama dengan kelangkaan yang terjadi pada kawanan burung nuri dan kakaktua.

aku, dulu, sekarang dan esok

| | | 0 komentar
aku yang esok sedang menunggu aku di puncak gunung,
aku yang dulu biarlah tetap begitu (dengan segala keberuntungan dan kemalangannya), karena tiada apa-apa yang bisa kulakukan untuk dirinya...

“…tapi manusia tidaklah semalang gelas kaca!”

Jumat, 01 April 2011

| | | 0 komentar
Gelas kaca adalah wujud akhir dari pengolahan panjang pasir kuarsa. Ia adalah salah satu benda yang telah lama hadir dalam kehidupan manusia. Tak kurang semenjak masa kerajaan mesir kuno, gelas telah dipakai orang-orang untuk minum air. Lebih dari itu, gelas kaca mengiringi seorang pria mengungkapkan cinta pada terkasihnya, mengiringi para mafia mencapai kata mufakat untuk membunuh atau menjadi saksi dari para pemimpin negara yang tengah bernegosiasi tentang untung rugi berdiplomasi dan berperang. Gelas kaca adalah saksi dari bagaimana cinta dituang dengan syahdu dan bagaimana perang dan pembunuhan direncanakan dengan apik. Seiring zaman yang tiada henti berputar, gelas kaca mempertahankan eksistensinya, bertransformasi menjadi beragam bentuk dan jenis, akan bernilai tinggi setelah diberi sentuhan ajaib seni. Namun pada akhirnya, gelas kaca tetaplah gelas kaca, yaitu benda olahan panjang pasir kuarsa, yang tak pernah bisa kembali sempurna seperti semula jika telah cacat.