“Kawan, Berapa Shafkah yang Akah Menyolati Jenazah Engkau Kelak?”

Kamis, 07 Juli 2011

| | |
Pada daerah yang tak sedang berperang atau tak terkena bencana alam, menyaksikan empat kematian dalam kurun waktu satu bulan dirasa agak kebanyakan, tapi itulah yang terjadi. Yah, kita tak bisa memohon kepada Tuhan agar cukup satu orang saja yang meninggal bulan ini, karena itu sepertinya bukanlah hal yang bisa untuk dimohon-mohon-kan. Sama seperti halnya dengan tanda tanya, tak seluruh urusan dapat kita bubuhi dengan pertanyaan, hanya menuntut satu hal saja ; patuh tanpa banyak cincong. Begitulah Tuhan merancang kehidupan.

Seperti biasanya, kematian selalu disambut dengan keterkejutan. Tak peduli bahwa fakta-fakta masa lalu menunjukkan bahwa siapa saja dapat mati tanpa tanda. Orang-orang selalu saja terkejut jika kawannya mati tanpa menunjukkan gejala. Agak payah memang untuk sampai pada sebuah pemahaman bahwa kematian tak sama dengan hujan. Hujan dimulai dengan gejala-gejala tertentu sehingga orang-orang bisa menyusun sebuah hipotesis ilmiah yang canggih bahwa hujan akan segera turun, lalu bersiap-siap, sedia payung sebelum hujan. Kematian tidaklah seperti itu, beberapa memang didahului oleh tanda tapi banyak juga yang datang mendadak. Maka, hipotesis apapun tak akan dapat menduga kapan persisnya kematian akan datang. Barangkali inilah sebabnya tiada pepatah yang mengatakan ; sedia kain kapan dan batu nisan sebelum mati.


Para kawan dan sanak saudara berkumpul di rumah duka, kebanyakan mereka duduk di halaman rumah. Para pelayat yang tengah berkumpul biasanya bercerita kesana kemari, cerita tentang bagaimana kematian yang tengah mereka ziarahi itu terhadi, tentang politik, presiden, wali kota, tentang anak yang akan masuk kuliah ataupun tentang orang sebelah rumah, bahkan tentang humor. Tak heran jikalau dalam suasana melayat itu terdengar perdebatan-perdebatan kecil yang seru antara pendukung partai A dan B, atau juga terdengar joke-joke aneh yang lucu. Bagiku, mendapatkan berbagai topik pembicaraan dalam satu tempat dan suasana adalah pengalaman unik.

Berdukakah para palayat itu? Ya, mereka berduka, karena untuk itulah mereka datang. Hanya saja perlu dipahami bahwa kadar kedukaan orang-orang yang ditinggalkan tidaklah sama. Bagi keluarga dan orang-orang terdekat, kedukaan telah membuat mereka tak bisa memikirkan apa-apa lagi selain merenungi kemalangan yang tengah menimpa mereka. Walau apapun yang dibicarakan para pelayat yang duduk di halaman rumah, pada dasarnya mereka punya satu niat, yaitu hendak memperlihatkan hati sedih dan muka yang tengah digelayuti mendung. Inilah menurutku hal yang sedikit unik tentang kematian, selain ajang duka, para pelayat dapat menjadikan momen itu sebagai ajang cari kawan atau ajang menyuburkan keakraban dengan bercerita kesana kemari. Ibaratnya, sambil menyelam minum air, makan kripik ubi, lalu minum air lagi.

Tapi bukan itu yang sebenarnya menjadi hal yang ingin dibicarakan disini. Berdasarkan pengamatan, bahwa orang yang menyalatkan jenazah cenderung tak sebanyak pelayat yang datang. Seberapa banyak kurangnya, itu tak pasti, yang jelas junlahnya berkurang. Fenomena ini adalah sangat menggelitik. Dari sini kita harus menarik satu pelajaran penting bahwa jika engkau berkawan, maka kawan itu bisa saja datang melayat di saat engkau meninggal dunia, tapi belum tentu ia akan mengantarkan doa melalui shalat jenazah yang dilakukan tanpa ruku dan sujud itu. Anehnya, seseorang yang barangkali tak engkau kenal, adalah salah seorang jemaah yang berdiri khusyu’ di antara shaf-shaf shalat jenazah.

Jika kawan punya pemahaman bahwa ukuran teman sejati adalah dari apakah ia kelak menyatalkan kita atau tidak, dari sana sebenarnya kawan dapat menilai bahwa siapa saja teman sejati dan siapa yang tidak. Sayangnya saat itu kawan sudah meninggal dan tak dapat lagi menunjukkan reaksi apapun karena terlalu fokus mempersiapakan diri untuk menghadapi sesi interview bersama malaikat yang akan diadakan sebentar lagi. Semoga wawancaranya berjalan lancar…

Walau demikian, tak perlulah kawan untuk memilih-milih orang untuk menjadi teman. Membatasi hubungan pertemanan pada kalangan orang-orang shaleh saja adalah sebuah keputusan yang sungguh lucu. Bukankah manusia bertransformasi hingga ajal? (transformasi baik atau buruk). Bukankah terlibat dalam proses transformasi baik seseorang adalah sebuah kehormatan besar? Tak banyak orang yang menyalatkan kita nanti bukanlah masalah yang perlu dikhawatirkan. Melainkan kita harus cemas, bahwa kita tak punya peran apa-apa dalam transformasi baik seseorang, karena Nabi pernah berkata ; manusia terbaik adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain…

Bagiku pribadi, tulisan ini telah menjelma menjadi kesatria berpedang yang telah berhasil membunuh sebuah pertanyaan yang selalu kutanyakan setiap kali menyalatkan jenazah ; berapa banyakkah orang yang akan menyalatiku kelak…?

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini