“Absurditas Kita (yang memalukan)”

Senin, 18 Juli 2011

| | |

Jika ada peristiwa paling tragis sepanjang sejarah, dimana nyawa manusia tak lebih berharga dari sampah kulit pisang, maka peristiwa tersebut adalah Perang Dunia II. Perang tersebut adalah contoh paling sempurna betapa manusia dapat lebih ganas dari monster-pembunuh-berlendir-lendir yang seringkali kita lihat di film-film. Tak terhitung banyak nyawa yang harus hilang, bahkan banyak jasad tak pernah sempat menikmati kubur, terlentang begitu saja ditempat ia mati, hingga lindap menjadi belulang yang busuk. Kematian menyergap bukan hanya para serdadu, tapi juga si kecil yang tengah suka bermain boneka dan kakaknya yang baru pandai memanjat pohon, mereka itu tak tahu apa-apa tentang kuasa yang diperebutkan para tiran.


Perang dunia II telah melahirkan begitu banyak tempat-tempat dramatis dan menggetarkan, dimana hidup hanya berjarak sejengkal dengan kematian. Salah satu yang paling fenomenal dari tempat-tempat itu adalah parit perlindungan. Parit perlindungan, adalah tempat dimana para serdadu menahan sakit di telinga mereka karena bom kerap meledak dalam jarak yang amat dekat. Disana, para serdadu melawan hawa musim dingin yang menggigit, hingga salju mencair lalu membuat lantai parit menjadi tempat berlumpur. Disana, pera serdadu harus menghadapi kenyataan bahwa kaki mereka dapat saja membusuk seumpama bangkai karena selalu terendam lumpur dingin di lantai parit. Disana pula para serdadu dipaksa berkawan dengan jasad-jasad teman mereka yang tak sempat dievakuasi, walaupun jasad-jasad itu sudah membusuk. Disana pula, serdadu yang tak tahan berteriak gila-gilaan hingga menembaki tubuh mereka sendiri. Di parit perlindungan, malaikat maut duduk dengan tenang, menunggu nyawa yang harus direnggut layaknya petani apel bersiap memetik apel yang tengah ranum.

Maka cukup mudah dipahami jika seorang wartawan Perang Dunia II yang bernama Ernest Taylor Pyke mengatakan, bahwa tiada orang yang ateis di parit perlindungan selama perang. Ya, para serdadu itu tengah berada pada situasi yang benar-benar menyusahkan, mau tak mau mereka harus berulang-ulang mengatakan ; oh God!, my God!, padahal dalam situasi normal di antara mereka berlaku seolah-olah Tuhan tiada pernah ada; Tuhan telah mati!. Agaknya sudah mejadi fitrah manusia, bahwa ketika galau akan mengadu pada Tuhan karena pada saat seperti itu hantu ateis sekalipun tak mampu lagi menidurkan fitrah manusia.

Kita tinggalkan nostalgia pahit Perang Dunia II. Saatnya kembali pada hidup yang sekarang. Kawan, hidup  ini ternyata berlaku semacam komedi putar, kadang di atas kadang dibawah, kadangkala senang, dilain waktu susah. Dalam banyak situasi, di tengah euforia pada saat berada pada puncak komedi putar, selain hanya selirih syukur, selebihnya kita melupakan Tuhan. Sebaliknya, ketika hidup ini berbadai, kita tersentak lalu tiap detik menyebut-nyebut nama Tuhan, persis seperti serdadu dalam parit perlindungan Perang Dunia II yang legendaris.

Itulah absurditas yang seringkali melekat pada diri kita. Ternyata absurditas itu lebih memalukan dari perkiraan, karena ternyata Tuhan tak sejenakpun melupakan kita…

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini