“Catatan 26”

Jumat, 22 Juli 2011

| | |
Secara formal, hari ini aku tambah umur, dari dua lima jadi dua enam. Ya, sengaja kutulis “secara formal”, karena faktanya umur ini terus bertambah setiap saat, bahkan kita sampai tak bisa menghitung seberapa pasti sebenarnya umur ini sekarang. 26 tahun sekian jam berapa detikkah umur ini sekarang? Sulit menentukannya karena detik terus berdetak, jarum kurus itu tak pernah mau peduli, tak sabar menunggu sebentar saja sampai kita bisa menghitung berapa jumlah tahun, jam dan detik dari umur ini. Intinya, hari ini, tanggal dua-dua Juli aku berulang tahun.


Segala penilaian orang atas kualitas diriku di masa lalu telah kusimpan baik-baik di dalam sebuah peti, peti itu aku simpan pula baik-baik pada sebuah ruang di dalam jiwa. Jika kawan menilaiku sebagai orang dengan berkepribadian buruk, sungguh aku tak pernah ingin menjadi sosok seperti itu. Barangkali karena masih kurangnya akal dan kebijikasanaan, segala yang baik yang ingin kulakukan malah menjadi sebaliknya, buruk bukan main. Memang akal dan kebijaksanaan demikian penting untuk ada dalam jiwa, harganya tak ternilai. Sebaliknya, jika kawan menilaiku baik, tak tertutup kemungkinan bahwa kebaikan itu kulakukan tanpa sengaja. Intinya begini, aku tak pernah berniat menjadi orang buruk, jika masih terdapat keburukan, maka itu adalah khilaf yang tak kuasa mengelakkannya, maka maafkanlah aku. Sebaliknya jika terdapat sebuah kebaikan, maka itu adalah pertanda bahwa aku memang berniat menjadi orang baik. Membingungkan? Memang, aku sendiri agak bingung mendefenisikan diri . Tapi itu wajar, bukankah kaum psikolog kerap mengatakan bahwa diri manusia itu begitu misterius hingga mereka lebih kenal bintang Canis Majoris daripada dirinya sendiri.

Satu tahun ini aku sudah rutin menulis. Tentang ini aku punya cerita. Pada dasarnya aku adalah anak yang suka membaca. Kelas empat SD telah kutamatkan novel klasik “Sengsara Membawa Nikmat”. Waktu itu, aku juga selalu berusaha menabungkan uang jajan untuk beli Bobo setiap kamis sore, kadang berhasil kadang gagal. Hingga tamat S1 kamaren, sebuah striker hadiah majalah bobo yaitu gambar jagoan mutan wolverine masih tertempel manis pada pintu sebuah lemari tua yang terletak dirumah. Kelas satu tsanawiyyah telah tamat pula “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk”, novel buya Hamka ini tak kubeli, kupungut di gudang pesantren, tercecer di antara kardus bekas. Kelas dua pesantren aku pernah memaksa diri untuk membaca sebuah jurnal ilmiah dan akhirnya gagal, maklum jurnal ilmiah itu kubaca seperti membaca “Tenggelamanya Kapal Van Der Wijk”, melakukan itu aku seperti mau muntah, maka daripada itu terjadi, aku memutuskan berhenti saja. jika tak ada bacaan lain, buku bacaan favoritku adalah buku pelajaran Bahasa Indonesia, alasannya sederhana, dalam buku pelajaran Bahasa Indonesia ada banyak potongan cerita dari berbagai novel dan cerpen.

Karena membaca, secara tak sadar aku punya ketertarikan terhadap “membuat tulisan”. Tulisan kreatif pertamaku muncul atas perintah Pembina asrama, waktu itu beliau memerintahkan kami untuk menulis apapun yang kami inginkan, saat itu aku menulis tentang cat dinding, ya tentang cat dinding. Jikalau aku tahu bahwa pada umur 26 tahun aku ingin membaca tulisan itu lagi, maka pasti tulisan itu dulu kusimpan baik-baik. Setelah itu aku tak menulis lagi, kecuali hanya tugas membuat ceramah. Masa sekolah di MAN kembali menulis, kali ini menulis puisi, itu dilakukan di kelas, saat bosan mendengar penjelasan guru atau ketika guru tak datang, selalu ditulis di kertas bekas, jika selesai dibuang ditempat sampah. Hal itu kulakukan terus, sampai bosan hingga berhenti sama sekali. Seperti tadi, ingin sekali rasanya membaca segala puisi yang kutulis dulu…

Kuliah, aku tak menulis apa-apa selain makalah. Walaupun demikian, aku sering tak berdaya karena mendengar desakan jiwa untuk menulis, tapi tak tahu harus menulis apa dan bagaimana melakukannya. Itu terjadi sepanjang tahun, hingga pada saat PPL, ketika tidak sedang mengajar, kuputuskan mengambil pena dan buku tulis, lalu mulai menulis sesuatu. Aku tak ingat apa yang kutulis saat itu dan di buku tulis yang mana aku menulisnya. Sama seperti tadi, aku rindu membaca apa yang kutulis waktu itu…

Kira-kira Ramadhan 2008, aku kenal Dahlan Iskan dari tulisan panjangnya tentang ia yang tengah menjalani operas ganti hati di Cina. Ketika membaca tulisan beliau, ada suara yang terdengar dalam dan halus bahwa aku harus bisa menulis sehebat orang ini. Sebelum itu aku terpesona novel Habiburrahman el Shirazy, waktu itu sempat muncul keinginan untuk bisa menulis novel, dan ternyata tak bisa-bisa hingga sekarang. Selain itu aku membaca beberapa novel lain, novel-novel itu manis awalnya lalu berikutnya terasa hambar. Kira-kira akhir 2009, muncul Andrea Hirata, aku melahap seluruh novel karangannya dan sedang menunggu-nunggu yang terbaru sekarang ini-selain “Dunia tanpa Manusia” dan “Untuk Indonesia yang Lebih Kuat”-. Setelah melalui berbagai pertimbangan akhirnya aku punya dua penulis kesayangan Dahlan Iskan dan Andrea Hirata, - Dedi Mizwar adalah sineas kesayangan-. Dari tulisan merekalah aku banyak melakukan pengamatan dan studi tentang tulisan yang enak dibaca. Walau demikian aku belum menulis apapun hingga tamat S1`pada akhir 2007.
Baru pada pertengah 2008 aku menulis lagi. Tiga halaman saja, ku tulis sebelum ujian lisan di PPS IAIN IB padang. Buku tempatku menulis saat itu masih ada, hingga enam bulan kemarin buku itu hancur dicoret-coret oleh putri kecilku. Sayang sebenarnya, tapi tak apalah.

Tapi setelah itu aku tak menulis lagi pada kecuali pada 2009, dua tulisan langsung muat di Singgalang. Walau muat di Singgalang, aku tak merasakan nikmat dalam menulisanya. Hanya ada kebanggaan bahwa tulisan itu dimuat, tapi ya itu tadi, tak puas. Oleh karena itu, ketika berusaha membuat tulisan sejenis aku merasa terbebani, seperti mengerjakan sesuatu yang tak disuka. Aku berhenti.
Lewat tengah 2010, sebuah kekuatan misterius menggerakkan ku untuk menulis lagi. Aku menulis dengan cara sesuka-suka hati, lalu menguploadnya ke FB dan entah kenapa aku menikmatinya! Itu kulakukan terus menerus, satu minggu minimal satu tulisan, tulisannya sesuka-suka hati, dan aku sangat menikmatinya. Enam bulan kemudian, aku merasa ada yang salah pada tulisan-tulisanku, hingga akhirnya aku merasa bahwa kesalahan itu adalah karena aku terlalu memaksa diri “meniru” gaya tulisan Andrea Hirata yang menurutku dibuat sesuka-suka hati. Aku berhenti sebentar, lalu menulis lagi, mencari karakter diri dalam menulis hingga aku cukup puas akan tulisanku sekarang…

Pencarian karakter tak kan pernah berhenti, aku terus menganggap bahwa aku tak punya gaya mapan dalam menulis, aku harus mencoba sebanyak-banyaknya gaya menulis. Jika akhirnya terbentuk sebuah karakter, lalu bagaimana persisnya karakter itu, biarlah orang laing yang sempat membaca tulisanku yang menyimpulkanya…

Malam ini, disaat aku tengah menjalani transformasi bertambah umur secara formal, aku merasa bahagia akan aktivitas tulis menulis yang telah rutin kulakukan satu tahun ini. Tulisan yang tengah kawan baca ini kutulis dengan penuh rasa bahagia, jujur aku begitu ngantuk sebenarnya, tapi aku harus menulis malam ini, dan inilah yang kutulis. Aku bertambah senang bahwa beberapa gelintir orang (selain istri dan adik perempuanku) telah meyakinkanku bahwa tulisan-tulisanku itu layak dibukukan. Secara berurutan, mereka adalah Heru Perdana Putra - orang yang mengatakan bahwa hubungan kami cukup rumit untuk dijelaskan-, Muhammad Gifari Suryanegara –dosen UI yang lagi S3 di Jepang-, Ulfa Yassirli – kawan baru mahasiswi PBA, “orang FLP”, dan “Aulin Oktaria” mahasiswa Sastra Arab di UGM. Walaupun jika penilaian mereka akan tulisanku itu tak berdasarkan alasan yang objektif, aku tetap senang dan mengucapkan terima kasih atas dorongannya.

Memang menerbitkan buku adalah salah satu obsesiku saat ini. Publish or Perish. Satu buku menjelang mati. Kata-kata itu terus mendorongku untuk bisa menerbitkan buku, oleh karenanya hingga kini aku terus menulis, agar tulisan ini dibaca secara lebih luas. Tapi ada hal yang lebih penting dari itu, menulis adalah cara asyik untuk mendidik diri sendiri, karena aku yakin bahwa tulisan mengikat penulisnya, penulis yang mengkhianati tulisannya akan dibenci oleh Tuhan, kabura maqtan.
Yah itulah semua yang ingi ku tulis malam ini, mendekati jam 00.00 memasuki tanggal dua-dua Juli. Anggap saja aku tengah memberi hadiah untuk diriku sendiri, sekaligus mengucapkan terima kasih pada kawan-kawan yang kusebutkan tadi, moga-moga semuanya mencapai cita dengan gilang gemilang!

Syukur terbesar pada sang Rabb yang melapangkan otakku hingga bisa menulis minimal satu tulisan perminggu…

Oleh Aku –isralnaska- yang terbata-bata sangat lama sekali agar bisa menulis sedikit saja…

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini