“Kerak Anomali”

Selasa, 19 Juli 2011

| | |
Jika harus memilih apa anugerah terbesar Tuhan terhadap kehidupan manusia, maka itu adalah pekerjaan sulit bahkan mungkin mustahil. Semua pemberian Tuhan itu terasa penting, bahkan sehelai rambut-pun sama pentingnya dengan kepala, bukankah banyak orang yang berani membayar lebih mahal atau bahkan sangat mahal untuk urusan rambut daripada untuk kebaikan isi kepala itu sendiri? Namun ada satu anugrah Tuhan tak-kasat-mata-tapi-ada yang harus kita syukuri, yaitu kepastian. Yah, Tuhan telah menciptakan kepastian hingga kita tak harus khwatir bahwa air pegunungan yang tengah kita minum secara tiba-tiba berubah menjadi api ketika lewat kerongkongan. Kita juga tak perlu khawatir jika air bak mandi yang kita basukan ke muka berubah menjadi cairan lava yang berpijar. Bayangkan kalau itu terjadi..., tapi tak usahlah dibayangkan, hanya akan buang-buang waktu, karena itu semua pasti tak akan terjadi. Pasti tak akan terjadi.


Roda waktu pasti akan selalu berputar, seperti halnya suatu saat yang entah kapan ia akan pasti tamat riwayat. Dalam pemahaman ini, tak beberapa lama lagi, akan tiba suatu periode waktu yang dinamai dengan Bulan Ramadhan, bulannya latihan mengendalikan hawa nafsu. Bulan ini istimewa, pasti kawan sudah tahu persis tentang keistimewaanya, bukankah cerita tentang keistimewaanya adalah hal yang selalu dikhotbahkan para penceramah di mimbar masjid? Oleh karena itu, aku tak hendak berkisah tentang keistimewaanya, tapi tentang sesuatu yang lain yang barangkali sering luput dari perhatian, yaitu tentang anomali-anomali yang seringkali menyertainya.

Anomali pertama, menjelalang dan pada Ramadhan, harga kebutuhan pokok naik dan biaya hidup melonjak. Bagaimana mungkin hal ini tak disebut sebagai sebuah anomali, Ramadhan mengajarkan pengendalian diri, pengendalian hawa nafsu yang berarti juga pengendalian pengeluaran, akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Sudah menjadi fenomena umum, bahwa tingkat konsumsi selama Ramadhan cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari bulan carai. Konsumsi tinggi inilah yang menyebabkan harga barang menjadi naik yang berimbas pada kenaikan biaya hidup. Kenapakah ini terjadi? Bukankah kita berlatih untuk mengendalikan keinginan? Kita memang tak makan dan minum apa-apa pada siang hari, tapi pada malam hari, kita makan dan minum apapun hingga tanpa disadari konsumsi kita melebihi konsumsi pada bulan carai. Waktu berbuka, teh agak dua gelas, kolak satu piring, makan nasi satu piring batambuah, Samba tak boleh yang biasa, harus yang mantap-mantap, di depan masjid makan karupuak kuah terlebih dahulu pakai mie, tidak hanya satu tapi sampai beberapa, menjelang tidur kolak lagi, bagi yang merokok, tak henti-henti makan asap sampai tidur. Ampun! Itulah yang kerap kita lakukan, seperti kuda lepas kekang, hingga aku sampai berpikir, barangkali cobaan Ramadhan yang sebenarnya bukanlah pada siang hari, tapi adalah setelah selesai berbuka. Jika memang seperti itu, berarti masa berbuka adalah jebakan, super trap!. Kitapun seringkali terjebak, hingga lahirlah anomali pertama. Baru selesai tulisan pada bagian ini, aku berhenti sejenak, lihat tv, pasalnya di tv ada pemandangan sangat aneh ; Ki Joko Bodo, dukun yang nyambi jadi seleb mewarnai rambutnya seperti warna pelangi…

Anomali kedua. Ramadhan berhambur dosa. Sama seperti tadi, Ramadhan adalah bulan pengendalian hawa nafsu, bararti lebih sedikit dosa. Tapi lihatlah, orang-orang pergi balimau, mandi-mandi di sungai, bercampur baur laki-laki perempuan. Ini budaya, tradisi, begitulah kata orang-orang hingga harus dimaklumi. Memang semangatnya baik, untuk mensucikan diri. Tapi proses dan hasil dari aktivitas balimau yang saban tahun kita ikuti telah mengkhianati tujuan balimau itu sendiri. Kasihan nenek moyang yang dulu merumuskan tujuan balimau, dikhianati anak cucu. Memasuki Ramadhan, ada banyak “tradisi” lain yang berdiri di jurang dosa; berlomba-lomba berinfak karena riya’, tarawih yang dijadikan sebagian anak muda sebagai ajang hura-hura dan pacaran, asmara shubuh, selebihnya kawan cari saja sendiri karena aku tak sanggup lagi menuliskannya. Takut berlebihan!

Anomali ketiga, masjid lengang seperti kuburan cina begitu Ramadhan lewat. Yah, iman kita sering menguap seperti embun pagi yang dijerang matahari dhuha begitu Ramadhan lewat. Mungkin karena iman kita adalah iman situasional, tergantung situasi saja, sama persis dengan kebanyakan sinetron dan iklan, jika ramadhan tiba semuanya menjadi berpeci dan bermukena, begitu lewat kembali “garang” membuka-buka yang seharusnya ditutup baik-baik.

Itulah kita, hidup beragam anomali. Pertanyaannya adalah; seberapa kuatkah kita bisa mengikis kerak anomali yang sebetulnya menganggu itu?

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini