Sudah lewat seminggu merayakan idul fitri. Pada awalnya
terasa canggung untuk makan dan minum pada siang hari. Seiring dengan waktu
berjalan, makan dan minum pun tak lagi canggung. Semakin ke sini semakin parah
saja, sudah mulai makan secara berlebihan. Tidak lapar pun makan, ngemil
berbagai macam kue sepanjang hari, bagi yang merokok kembali asik dengan
bungkusan rokoknya. Ini baru urusan perut, belum lagi urusan lain-lainnya.
Sebulan dilatih untuk menahan diri, rupanya pudar dalam waktu yang tak lama. Aduh,
begitu lemahnya kita.
Terkadang ku merasa, dalam urusan latihan dan tingkat
keberhasilannya kita kalah jauh dari seekor ayam. Jika berkesempatan membeli
seekor ayam, kurung saja dikandang tiga hari. Setelah tiga hari sang ayam sudah
merasa bahwa lingkungan inilah rumah barunya, tuan yang punya kandang adalah
tuan barunya. Lepas sajalah setelah itu, hingga senja tampil si ayam pasti
kembali ke kandang tempat ia dikurung sebelumnya. Tak pernah bersua ayam yang
tersesat pulang kandang.
Memang perumpamaan ini mungkin agak lebay. Manusia dan ayam
tentu jauh berbeda. Namun, tak ada salahnya kita berpikir seperti ini. Toh
alam yang terkembang adalah guru. Kitab Sucipun seringkali mengambil perumpaan
dari binatang-binatang yang tersebar mengisi kehidupan manusia. Jadi memang,
kita yang tak mampu menahan diri setelah sebulan dilatih, maka memang harus
malu pada seekor ayam.
Tuhan tentu tak main-main menetapkan sebulan waktu untuk
berlatih. Itu pasti sangat cukup untuk kita-kita ini. Hanya saja terkadang dalam
menjalani sebulan latihan, kita barangkali tak sadar bahwa ini adalah latihan
untuk bijak mengendalikan nafsu. Mungkin hanya merasa bahwa Ramadhan adalah
sekumpulan ritual yang harus dijalani. Kebetulan budaya yang melekat pada ritual
Ramadhan itu sangat ramai dan heboh, maka kitapun mungkin menjalani itu karena
suasana ramai dan hebohnya. Perhatikan saja, sahur hingga sahur lagi ada
beragam kemeriahan yang menyenangkan. Memang kita dilahirkan pada budaya yang
sangat suka hiruk pikuk dan kemeriahan. Coba hitung siapa saja menikmati ibadah
tahajud pada malam yang sepi, pasti segelintir saja. Tentang ini tentu hanya
masing-masing pribadi yang tahu.
Dua orang bisa saja sama-sama shalat, melakukan gerakan yang
sama dan membaca bacaan yang sama. Namun belum tentu bernilai sama. Orang pertama
shalat dalam rangka ibadah, pengabdian dan melatih diri menjadi orang yang
lebih baik. Sedangkan orang kedua
menjali shalat karena inilah ritual yang dilakukan kebanyakan orang, sehingga
jika tak shalat ada yang aneh rasanya. Keduanya berbeda walaupun sangat mirip
di permukaan. Pada akhirnya, kita pun harus kembali mengukur diri. Apakah setiap
ibadah yang kita jalani betul-betul dipandang sebagai bentuk pengabdian dan
latihan, atau hanya seperangkat ritual yang sudah biasa dijalankan. Orang-orang
cerdik cendikia sering mengatakan bahwa kebanyakan muslim di sini adalah muslim
yang terperangkap pada ritual-ritual dan tiada menjiwai ibadah sebagaimana
mestinya. Jikalau memang kita merasa seperti itu, sudah waktunya untuk berubah,
Tuhan akan dengan senang hati membantu hamba untuk berubah. Semoga ibadah yang
kita jalani betul-betul membuat kita menjadi orang yang lebih baik.