RITUAL

Senin, 27 Agustus 2012

| | |

Sudah lewat seminggu merayakan idul fitri. Pada awalnya terasa canggung untuk makan dan minum pada siang hari. Seiring dengan waktu berjalan, makan dan minum pun tak lagi canggung. Semakin ke sini semakin parah saja, sudah mulai makan secara berlebihan. Tidak lapar pun makan, ngemil berbagai macam kue sepanjang hari, bagi yang merokok kembali asik dengan bungkusan rokoknya. Ini baru urusan perut, belum lagi urusan lain-lainnya. Sebulan dilatih untuk menahan diri, rupanya pudar dalam waktu yang tak lama. Aduh, begitu lemahnya kita.

Terkadang ku merasa, dalam urusan latihan dan tingkat keberhasilannya kita kalah jauh dari seekor ayam. Jika berkesempatan membeli seekor ayam, kurung saja dikandang tiga hari. Setelah tiga hari sang ayam sudah merasa bahwa lingkungan inilah rumah barunya, tuan yang punya kandang adalah tuan barunya. Lepas sajalah setelah itu, hingga senja tampil si ayam pasti kembali ke kandang tempat ia dikurung sebelumnya. Tak pernah bersua ayam yang tersesat pulang kandang.

Memang perumpamaan ini mungkin agak lebay. Manusia dan ayam tentu jauh berbeda. Namun, tak ada salahnya kita berpikir seperti ini. Toh alam yang terkembang adalah guru. Kitab Sucipun seringkali mengambil perumpaan dari binatang-binatang yang tersebar mengisi kehidupan manusia. Jadi memang, kita yang tak mampu menahan diri setelah sebulan dilatih, maka memang harus malu pada seekor ayam.

Tuhan tentu tak main-main menetapkan sebulan waktu untuk berlatih. Itu pasti sangat cukup untuk kita-kita ini. Hanya saja terkadang dalam menjalani sebulan latihan, kita barangkali tak sadar bahwa ini adalah latihan untuk bijak mengendalikan nafsu. Mungkin hanya merasa bahwa Ramadhan adalah sekumpulan ritual yang harus dijalani. Kebetulan budaya yang melekat pada ritual Ramadhan itu sangat ramai dan heboh, maka kitapun mungkin menjalani itu karena suasana ramai dan hebohnya. Perhatikan saja, sahur hingga sahur lagi ada beragam kemeriahan yang menyenangkan. Memang kita dilahirkan pada budaya yang sangat suka hiruk pikuk dan kemeriahan. Coba hitung siapa saja menikmati ibadah tahajud pada malam yang sepi, pasti segelintir saja. Tentang ini tentu hanya masing-masing pribadi yang tahu.

Dua orang bisa saja sama-sama shalat, melakukan gerakan yang sama dan membaca bacaan yang sama. Namun belum tentu bernilai sama. Orang pertama shalat dalam rangka ibadah, pengabdian dan melatih diri menjadi orang yang lebih baik.  Sedangkan orang kedua menjali shalat karena inilah ritual yang dilakukan kebanyakan orang, sehingga jika tak shalat ada yang aneh rasanya. Keduanya berbeda walaupun sangat mirip di permukaan. Pada akhirnya, kita pun harus kembali mengukur diri. Apakah setiap ibadah yang kita jalani betul-betul dipandang sebagai bentuk pengabdian dan latihan, atau hanya seperangkat ritual yang sudah biasa dijalankan. Orang-orang cerdik cendikia sering mengatakan bahwa kebanyakan muslim di sini adalah muslim yang terperangkap pada ritual-ritual dan tiada menjiwai ibadah sebagaimana mestinya. Jikalau memang kita merasa seperti itu, sudah waktunya untuk berubah, Tuhan akan dengan senang hati membantu hamba untuk berubah. Semoga ibadah yang kita jalani betul-betul membuat kita menjadi orang yang lebih baik.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

keren gan article nya...kunjungi juga blog saya ya gan...chaniaj.blogspot.com

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini