“Hujan suatu Sore”

Rabu, 21 Maret 2012

| | |


Jika hidup ini adalah sungai, jika gairah menjalani kehidupan adalah riak air yang naik turun, maka mata air dari sungai kehidupan adalah apa yang kita sebut dengan harapan. Ketika melihat seorang tua berjalan naik turun bukit menuju ladangnya, aku bertanya tentang apa yang membuatnya masih kuat untuk ini. Jawabannya panjang lebar, sepanjang jalan yang ditempuh, selebar lembah yang terlihat dari puncak ladangnya, tapi intinya hanya satu ; ia kuat karena tengah mengejar harapan, yaitu ingin melihat anak-anaknya menjadi orang yang lebih baik. Maka, jika ada kehilangan yang paling mengerikan dalam hidup ini, adalah kehilangan harapan. Jika engkau hidup, maka hidupmu adalah kosong seumpama laut Aral yang telah lama ditinggalkan airnya. Jika engkau berjalan, maka wajahmu kaku seperti puing tembok rumah belanda yang telah lama dihancurkan gempa .

Ketika kawan melempar buah mangga, setiap satu lemparan akan menghasilkan setidaknya empat kemungkinan; kena dan jatuh, kena tapi tak jatuh, tak kena dan tak jatuh, atau tak kena tapi jatuh jua. Seperti itulah hidup, bahwa ia adalah kumpulan dari kemungkinan yang jumlahnya tak terbayangkan. Jika memang demikian adanya, maka harapan adalah menginginkan terjadinya satu kemungkinan dan menolak kemungkinan-kemungkinan lainnya. Harapan yang tak sampai, tak lain dan tak bukan adalah terjadinya kemungkinan yang tak diinginkan. Mengingat kuasa manusia yang serba terbatas, maka tidak terwujudnya sebuah harapan adalah hal biasa, sebiasa melati yang selalu mekar sebelum fajar. Walau terkadang dampaknya tidaklah biasa.

Penerimaan. Ya, inilah kemampuan yang telah diberikan Tuhan kepada kita terhadap harapan yang tak sampai. Yaitu kemampuan berdamai dengan keadaan. Marah, putus asa dan reaksi negative lainnya mungkin saja muncul sebagai dampak dari harapan yang tak terwujud. Menerima keadaan akan menghilangkan segala yang negative itu dengan sangat mudah, persis seperti hujan suatu sore yang dengan entengnya menghapus jejak-jejak kemarau seminggu penuh. Inilah bentuk keadilan Tuhan, bahwa kita diberikan kemampuan bertahan.  Jika pada akhirnya ada orang yang sakit dan mati karena meratapi harapannya, bukanlah Tuhan yang salah, akan tetapi ialah yang bodoh, tak mau menggunakan kekuatan anugrah Tuhan. Orang-orang begitu, adalah orang-orang yang memilih untuk berjalan secara “ngesot”, padahal ia punya kaki yang sehat dan kuat. Naif sekali tentunya.

Menerima keadaan berarti memberikan kesempatan kepada diri untuk mengambil pelajaran dari sebab-sebab kegagalan. Penerimaan berarti memperkuat diri, memperbaiki harapan lama, atau memang jika tak mungkin lagi tercapai, maka penerimaan akan membuat kita membangun lagi harapan-harapan baru. Terkadang harus sadar bahwa hidup tidak harus “itu”. Jika harapan tak tercapai adalah sebuah kejatuhan, maka menerima keadaan adalah awal dari kebangkitan. Jadi, siapa bilang sikap menerima itu pasif.   

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini