Jika hidup ini adalah sungai, jika gairah menjalani
kehidupan adalah riak air yang naik turun, maka mata air dari sungai kehidupan
adalah apa yang kita sebut dengan harapan. Ketika melihat seorang tua berjalan
naik turun bukit menuju ladangnya, aku bertanya tentang apa yang membuatnya
masih kuat untuk ini. Jawabannya panjang lebar, sepanjang jalan yang ditempuh,
selebar lembah yang terlihat dari puncak ladangnya, tapi intinya hanya satu ;
ia kuat karena tengah mengejar harapan, yaitu ingin melihat anak-anaknya
menjadi orang yang lebih baik. Maka, jika ada kehilangan yang paling mengerikan
dalam hidup ini, adalah kehilangan harapan. Jika engkau hidup, maka hidupmu
adalah kosong seumpama laut Aral yang telah lama ditinggalkan airnya. Jika engkau
berjalan, maka wajahmu kaku seperti puing tembok rumah belanda yang telah lama
dihancurkan gempa .
Ketika kawan melempar buah mangga, setiap satu lemparan akan
menghasilkan setidaknya empat kemungkinan; kena dan jatuh, kena tapi tak jatuh,
tak kena dan tak jatuh, atau tak kena tapi jatuh jua. Seperti itulah hidup,
bahwa ia adalah kumpulan dari kemungkinan yang jumlahnya tak terbayangkan. Jika
memang demikian adanya, maka harapan adalah menginginkan terjadinya satu
kemungkinan dan menolak kemungkinan-kemungkinan lainnya. Harapan yang tak
sampai, tak lain dan tak bukan adalah terjadinya kemungkinan yang tak
diinginkan. Mengingat kuasa manusia yang serba terbatas, maka tidak terwujudnya
sebuah harapan adalah hal biasa, sebiasa melati yang selalu mekar sebelum
fajar. Walau terkadang dampaknya tidaklah biasa.
Penerimaan. Ya, inilah kemampuan yang telah diberikan Tuhan
kepada kita terhadap harapan yang tak sampai. Yaitu kemampuan berdamai dengan
keadaan. Marah, putus asa dan reaksi negative lainnya mungkin saja muncul
sebagai dampak dari harapan yang tak terwujud. Menerima keadaan akan
menghilangkan segala yang negative itu dengan sangat mudah, persis seperti
hujan suatu sore yang dengan entengnya menghapus jejak-jejak kemarau seminggu
penuh. Inilah bentuk keadilan Tuhan, bahwa kita diberikan kemampuan
bertahan. Jika pada akhirnya ada orang
yang sakit dan mati karena meratapi harapannya, bukanlah Tuhan yang salah, akan
tetapi ialah yang bodoh, tak mau menggunakan kekuatan anugrah Tuhan. Orang-orang
begitu, adalah orang-orang yang memilih untuk berjalan secara “ngesot”, padahal
ia punya kaki yang sehat dan kuat. Naif sekali tentunya.
Menerima keadaan berarti memberikan kesempatan kepada diri
untuk mengambil pelajaran dari sebab-sebab kegagalan. Penerimaan berarti
memperkuat diri, memperbaiki harapan lama, atau memang jika tak mungkin lagi
tercapai, maka penerimaan akan membuat kita membangun lagi harapan-harapan
baru. Terkadang harus sadar bahwa hidup tidak harus “itu”. Jika harapan tak
tercapai adalah sebuah kejatuhan, maka menerima keadaan adalah awal dari
kebangkitan. Jadi, siapa bilang sikap menerima itu pasif.
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentari tulisan ini