Roda-roda Gerobak

Jumat, 24 Februari 2012

| | |


Kata orang hidup adalah tentang pilihan. Memilih berarti memutuskan. Maka, hidup tak lain dan tak bukan adalah proses mengambil keputusan lalu merasakan dampak dari keputusan tersebut. Jika memang ini adanya, kita dapat menyimpulkan bahwa hidup tidaklah sama bagi orang-orang. Bagi sebagian hidup terasa mengancam, namun tidak bagi yang lainnya.

Sebuah keputusan tidaklah sulit bagi jiwa yang merdeka. Yaitu orang-orang yang mengikatkan dirinya pada kebenaran semata. Jika sudah begini, mereka hanya perlu mengenal mana yang benar dan mana pula yang salah, selanjutnya mudah saja; tinggal memilih yang benar. Alurnya memang terlihat sederhana, namun butuh keahlian untuk  bisa melakukannya. Bagaimanapun juga, kebenaran bukanlah barang murahan. Betul  bahwa Tuhan telah memberikan dasarnya, akan tetapi hidup terkadang muncul dalam bentuk yang rumit dan enigmatis. Jika sudah begini, kita mesti pandai menempatkan logika dan perasaan pada tempat yang pas.
 Logika yang bersifat objektif dan perasaan yang bersifat subjektif, seolah bertentangan selalu, bagai hitam dan putih. Tapi, sebenarnya hitam dan putih bukanlah diciptakan untuk saling bermusuhan, tapi agar bersatu padu saling melengkapi. Lihatlah, jika hitam dan putih dipersandingkan dengan penuh kebijaksanaan, maka sungguh indah, lambang yin dan yang misalnya, atau paling tidak zebra cross jalanan yang memudahkan pejalan kaki. Orang yang hanya mengandalkan logika semata tak ubanya mesin, sedangkan kawan yang hanya memperturutkan perasaan adalah melankolis yang menyedihkan. Layaklah disebut sebagai manusia hebat, jika logika dan perasaan bertempat pada posisi yang sesuai.

Disinilah seni hidup itu, yaitu ketika menimbang-nimbang manakah yang layak mendapatkan porsi yang lebih besar. Terkadang benar menurut logika, tapi tidaklah patut bagi perasaan. Orang yang pincang pasti memiliki tubuh yang asimetris, dan itu adalah fakta. Walau tanpa maksud menghina, layakkah kalau kita memanggil orang itu begini ; “wahai engkau yang pincang dan asimetris, kemarilah!”. Terkadang, kitapun harus menentang logika untuk sebuah perasaan. Seorang guru harus besabar untuk mendengar nyanyian muridnya padahal suara sang murid buruk bukan main, telinga saja mau lari mendengarkannya. Ketika sang murid bertanya; “bagaimana bu guru?”. “Bagus nak, suaramu bagus, ibu suka” kata bu guru. Sang  guru merasa tak enak hati jika harus mengatakan yang sebenarnya. Barangkali dari sinilah muncul adigium terkenal itu ; jan katokan sado nan tipikia, bapikialah kalau bakato-kato (jangan katakan seluruh yang terpikir, berpikirlah kalau berkata-kata). Intinya di sini adalah kebijaksanaan.

Pada akhirnya, keberanianlah yang menentukan. Ketika sebuah keputusan yang benar akan merugikan diri sendiri, beranikah mengeksekusinya? Ketika sebuah keputusan terasa amat pahit, beranikah menjalankannya? Ketika harus kehilangan banyak hal untuk sebuah kebenaran, beranikah untuk menjadi misikin karena itu? Percuma saja jikalau keberanian tak ada, sementara waktu terus berjalan, keputusan mesti segera diambil. Orang-orang takut akan menunda-nunda, atau malah mengkhianati kebenaran. Mengkhianati kebenaran sama saja menjual diri, mencorengkan arang dikening. Jikalau tersandera ketakutan, maka hidup yang ada adalah hidup yang mengancam. Tak dapat diingkari lagi bahwa hidup senantiasa memihak orang-orang yang benar dan berani…

Kebijaksanaan dan keberanian adalah seperti dua roda pada gerobak (peribahasa Jepang)

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini