Kata orang hidup adalah tentang pilihan. Memilih berarti
memutuskan. Maka, hidup tak lain dan tak bukan adalah proses mengambil
keputusan lalu merasakan dampak dari keputusan tersebut. Jika memang ini
adanya, kita dapat menyimpulkan bahwa hidup tidaklah sama bagi orang-orang. Bagi
sebagian hidup terasa mengancam, namun tidak bagi yang lainnya.
Sebuah keputusan tidaklah sulit bagi jiwa yang merdeka. Yaitu
orang-orang yang mengikatkan dirinya pada kebenaran semata. Jika sudah begini,
mereka hanya perlu mengenal mana yang benar dan mana pula yang salah,
selanjutnya mudah saja; tinggal memilih yang benar. Alurnya memang terlihat
sederhana, namun butuh keahlian untuk bisa
melakukannya. Bagaimanapun juga, kebenaran bukanlah barang murahan. Betul bahwa Tuhan telah memberikan dasarnya, akan
tetapi hidup terkadang muncul dalam bentuk yang rumit dan enigmatis. Jika sudah
begini, kita mesti pandai menempatkan logika dan perasaan pada tempat yang pas.
Disinilah seni hidup itu, yaitu ketika menimbang-nimbang
manakah yang layak mendapatkan porsi yang lebih besar. Terkadang benar menurut
logika, tapi tidaklah patut bagi perasaan. Orang yang pincang pasti memiliki
tubuh yang asimetris, dan itu adalah fakta. Walau tanpa maksud menghina,
layakkah kalau kita memanggil orang itu begini ; “wahai engkau yang pincang
dan asimetris, kemarilah!”. Terkadang, kitapun harus menentang logika untuk
sebuah perasaan. Seorang guru harus besabar untuk mendengar nyanyian muridnya
padahal suara sang murid buruk bukan main, telinga saja mau lari
mendengarkannya. Ketika sang murid bertanya; “bagaimana bu guru?”. “Bagus
nak, suaramu bagus, ibu suka” kata bu guru. Sang guru merasa tak enak hati jika harus
mengatakan yang sebenarnya. Barangkali dari sinilah muncul adigium terkenal itu
; jan katokan sado nan tipikia, bapikialah kalau bakato-kato (jangan katakan
seluruh yang terpikir, berpikirlah kalau berkata-kata). Intinya di sini adalah
kebijaksanaan.
Pada akhirnya, keberanianlah yang menentukan. Ketika sebuah
keputusan yang benar akan merugikan diri sendiri, beranikah mengeksekusinya? Ketika
sebuah keputusan terasa amat pahit, beranikah menjalankannya? Ketika harus
kehilangan banyak hal untuk sebuah kebenaran, beranikah untuk menjadi misikin karena
itu? Percuma saja jikalau keberanian tak ada, sementara waktu terus berjalan,
keputusan mesti segera diambil. Orang-orang takut akan menunda-nunda, atau
malah mengkhianati kebenaran. Mengkhianati kebenaran sama saja menjual diri,
mencorengkan arang dikening. Jikalau tersandera ketakutan, maka hidup yang ada
adalah hidup yang mengancam. Tak dapat diingkari lagi bahwa hidup senantiasa
memihak orang-orang yang benar dan berani…
Kebijaksanaan dan
keberanian adalah seperti dua roda pada gerobak (peribahasa Jepang)
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentari tulisan ini