“Lampu Redup Para Pendosa Quraisy, Lampu Terang Pasukan Badar”

Rabu, 06 April 2011

| | |
Sama seperti rumah lainnya, rumah ini telah lama dialiri listrik. Oleh karena itu, rumah ini tak lagi menggunakan cara-cara tradisional untuk urusan penerangan jika gelap malam datang berkunjung. Seluruh ruangan telah menggunakan lampu, termasuk dapur. Oh ya, dapur rumah ini istimewa, disaat ruang lain telah penuh oleh segala tetek bengek modernitas, tidak demikian dengan dapurnya.

Engkau tak akan menemukan peralatan masak modern di sana, jangankan kompor gas atau kompor listrik (tepat nggak ya istilah kompor listrik?), kompor minyak tanah pun tak akan bersua disana. Ya, dapur ini tetap mengandalkan kayu bakar sebagai sumber energy untuk mengolah makanan. Entah apa alasan si pemilik rumah membiarkan dapur ini tetap purba berlantai tanah berdinding rotan, barangkali si pemilik rumah adalah pecandu fanatik cita rasa masakan paling tradisional. Bukan rahasia lagi bahwa makanan yang dimasak pakai kayu bakar punya cita rasa unik yang lezatnya tak terkata, baik itu nasinya, gulainya, rendangnya, atau samba ladonya, wuiih tak tahan membayangkannya, ada rasa-rasa asap yang gurih. Pada zaman sekarang, tradisi memasak di dapur ini adalah kelangkaan yang indah, persis sama dengan kelangkaan yang terjadi pada kawanan burung nuri dan kakaktua.


Tapi bukan dapur bahuela ini atau karya kulinernya yang hendak kubicarakan. Lampu. Ya aku ingin berbicara tentang lampu, tepatnya lampu yang terpasang di kayu-kayu penyangga rajutan daun rumbia kering yang menjadi atap dapur. Ada apa dengan lampu itu? Pertama, ia beserta kabelnya adalah satu dari sangat sedikit barang-barang pabrikan yang ada di dapur ini. Namun bukan itu yang paling menarik. Jika malam datang lampu itu terlihat redup dan lelah, padahal menurut pemilik rumah, antara lampu dapur dan lampu yang dipasang di ruang tamu sama kualitasnya. Lalu kenapa ia lebih redup dan tidak bersemangat seperti kawannya di ruang tamu?

Setelah kuselidiki dengan seksama, ternyata kawanan debu tipis telah menutupi seluruh permukaannya. Pasti debu kayu pembakaran. Benar saja, setelah dibersihkan lampu ini kembali terang benderang, cahayanya berkeliaran bebas ke segala penjuru dapur. Lampu itu seperti mengucapkan terima kasih kepadaku…
***
Pada akhirnya aku insaf bahwa dapur klasik ini dan lampunya, persis sama dengan kehidupan yang tengah kita jalani. Lampu adalah kita, dapur adalah lingkungan dan debu adalah keburukan yang kerap kita hadapi. Pengaruh lingkungan yang buruk telah menjadikan diri kita tak seperti aslinya kita. Kepercayaan yang salah, seperti mempercayai bahwa “itu” atau “ini” sangat sulit dan mustahil mengerjakannya atau menutup diri pada kemajuan zaman, telah membuat kita menjadi orang-orang yang redup, yaitu orang-orang yang mudah putus asa, cengeng, malas, merasa pintar dan mudah menyerah. Betapa malangnya jiwa-jiwa yang terselubung debu!

Begitu pula halnya dengan dosa, juga membuat kita menjadi pribadi yang redup dan kalah, siapakah yang mau mendengar seorang pendosa? Dosa yang telah menutupi hati, tak hanya membuat orang tak menjadi tak bisa mendengar dan melihat, tapi juga berhasil membuat orang menjadi lemah tak berdaya. Coba lihat saja, apa yang bisa dilakukan pendosa-pendosa Quraisy sementara jumlah mereka berkali-kali lipat lebih banyak dari pasukan Badar sang Nabi. Lampu-lampu redup para pendosa Quraisy telah kalah sangat jauh dengan lampu-lampu terang para sahabat, seberapa terangkah lampu sang Rasul?. Barangkali itulah gunanya shalat lima kali sehari dan karena itu pulalah Tuhan nyinyir menyuruh kita mencari ilmu, tak lain dan tak bukan adalah agar kita menerangi. Itulah khalifah Tuhan, sosok yang menerangi.

Mari bersihkan lampu-lampu kita!

Padang Senja tanggal enam bulan april tahun kosong sebelas.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini