“…tapi manusia tidaklah semalang gelas kaca!”

Jumat, 01 April 2011

| | |
Gelas kaca adalah wujud akhir dari pengolahan panjang pasir kuarsa. Ia adalah salah satu benda yang telah lama hadir dalam kehidupan manusia. Tak kurang semenjak masa kerajaan mesir kuno, gelas telah dipakai orang-orang untuk minum air. Lebih dari itu, gelas kaca mengiringi seorang pria mengungkapkan cinta pada terkasihnya, mengiringi para mafia mencapai kata mufakat untuk membunuh atau menjadi saksi dari para pemimpin negara yang tengah bernegosiasi tentang untung rugi berdiplomasi dan berperang. Gelas kaca adalah saksi dari bagaimana cinta dituang dengan syahdu dan bagaimana perang dan pembunuhan direncanakan dengan apik. Seiring zaman yang tiada henti berputar, gelas kaca mempertahankan eksistensinya, bertransformasi menjadi beragam bentuk dan jenis, akan bernilai tinggi setelah diberi sentuhan ajaib seni. Namun pada akhirnya, gelas kaca tetaplah gelas kaca, yaitu benda olahan panjang pasir kuarsa, yang tak pernah bisa kembali sempurna seperti semula jika telah cacat.


Jika telah retak sebab panas atau terbentur, teknik apapun yang engkau gunakan untuk memperbaikinya tak akan bisa mengembalikannya seperti semula. Bisa saja ia tetap menjalankan fungsi dasarnya, yaitu menampung air minum untuk tuannya, tapi lihatlah, keadaannya demikian menyedihkan. Mata manusia tak pernah mau akrab dan bersahabat dengan garis-garis retakan atau jejak-jejak pecah pada tubuh sebuah gelas kaca. Bahkan kebanyakan ibu rumah tangga yang waspada, membuang saja gelas-gelas kaca yang retak, khawatir jika akan melukai suami dan anak-anak mereka –walau harganya seperti membeli tanah-. Maka gelas kaca yang retak dan pecah, tak punya harapan lagi menjadi saksi dari gairah cinta yang meluap-luap atau kebencian yang menggebu-gebu. Ia akan segera keluar dari rumah, berakhir sebagai beling yang diwaspadai dan terbuang, atau paling beruntung masuk pabrik daur ulang.

Sesungguhnya manusia mirip gelas kaca. Semua orang sepakat bahwa nama baik adalah harga seorang manusia di lingkungannya. Jika nama baik telah hancur, maka ia tetap dipandang sebagai orang yang kehilangan nama baik. Seorang yang berdusta akan diingat orang-orang bahwa ia pernah berdusta, maka orang akan berhati-hati berurusan dengannya. Seorang pengkhianat kebenaran akan tercatat selamanya sebagai pendusta kebenarannya. Seorang koruptor akan selamanya diingat sebagai orang yang pernah maling uang negara. Kelak suatu saat, jika orang bertanya “ Pak Badu yang mana?” maka yang lain menjawab “itu, yang dulu pernah ketahuan berdusta” atau “yang pengkhianat itu!” atau “ah, engkau tak tahu kawan? Itu lho, pak badu yang korupsi itu…”. Pak badu adalah gelas retak, jejak retak tak pernah bisa hilang dari sebuah gelas yang retak. Moga-moga tidak ada yang bernama Badu disini, kalaupun ada minta maaf ya, bukan kesengajaan...

Memang seperti itulah tabiat dunia, bahwa orang dikenang atas jejak kelakuannya. Engkau akan dikenang baik jika berbuat baik, sebaliknya dikenang buruk jika berbuat buruk. Bahkan, orang akan mencampakkan engkau dalam daftar orang-orang paling buruk dan pantas dibenci jikalau berbuat buruk setelah sebelumnya tampil sebagai orang baik. Namun itikad dan usaha untuk berubah, bahwa kita menyesal dengan perangi-perangai iblis yang pernah kita lakukan sebelumnya dan merubah diri sekuat tenaga tetaplah punya nilai yang tinggi –baik di mata manusia, apalagi di hadapan Tuhan-. Bukankah lebih baik dikenang sebagai mantan begundal daripada mantan kiyai? Manusia memang mirip gelas kaca, tapi manusia tidaklah semalang gelas kaca! (Padang, 26 Maret 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini