Dulang Emas Carano Perak

Minggu, 01 Januari 2012

| | |

Pada dasarnya, belajar adalah kegiatan yang seru untuk dijalani. Bagaimana tidak, ia dapat mengungkap berbagai misteri. Apakah yang lebih indah di sini, jika bukan misteri yang akhirnya tersibak? Sesungguhnya otak tak pernah ingin diam dan stagnan, ia selalu meronta untuk digunakan sesuai tujuan ia diciptakan; berpikir. Maka otak manakah yang tak bahagia, karena selalu dibuat sibuk belajar oleh pemiliknya karena dengan itu ia berpikir. Seperti kata orang bijak ; pikiran yang sibuk adalah pikiran yang bahagia. Bacalah! Demikian untuk pertama kalinya Tuhan berfirman.

Ketika beberapa mahasiswa tua terang-terangan mengatakan bahwa mereka belajar hanya untuk mendapat ijazah dan gelar, mereka terlalu merendahkan, terlalu naïf, terlalu absurd dan sangat menyedihkan. Niat D3 menjadi S1 mereka itu sungguh menyedihkan. Seharusnya pemikiran seperti itu tak pernah ada, apalagi pada orang-orang tua yang seharusnya membimbing anak-anak muda yang kadang meledak, yang terkadang surut tak tentu arah. Tapi inilah dunia yang harus dimaklumi, tua tak selalu bijak.

Tulisan ini, memang terbit dari hati yang terluka, dari kita yang terlunta-lunta untuk bisa terus belajar dan selalu berusaha mencintai aktivitas ini. Terluka? Ya memang terluka, bahkan sedikit parah dan hingga lama menangis. Mereka yang berbicara tabu itu adalah para guru SD yang yang telah lama mengajar. Bukankah gurulah yang seharusnya menjadi orang pertama yang menempatkan aktivitas belajar dalam dulang emas yang senantiasa dijunjung takzim di atas kepala-kepala mereka, atau dalam carano perak yang mesti digendong dengan penuh rasa?

Hati semakin sendu, ketika kebanyakan mereka mengerjakan ujian dengan mata liar karena sangat bernafsu menyontek jawaban kawan-kawannya. Juga mencuri-curi melihat jimat dan kelakuan culas lainnya. Jika tadinya mereka telah merendahkan belajar, sekarang juga memperkosa nilai-nilai kejujuran. Anda memang tua, saya mungkin sebantaran anak bungsu Anda, tapi Anda tak lebih dari kanak-kanak picik yang tak pernah diajar orang tuanya. Mereka merepet-repet dalm bisik ketika aku memberantas segala keculasan mereka dan menulis nama-nama mereka dalam berita acara. Sungguh sempurna untuk sebuah antagonisme; tua, bermata liar dan suka nyontek. Sangat menjijikkan.

Lebih aneh lagi ketika mereka beralasan ; kami sudah tua dan tak bisa lagi belajar. Itu hanya pembenaran yang tak selalu benar. Mungkin saja kemampuan otak tak seperti muda dulu, tapi apakah lantas itu menjadi alasan untuk menghalalkan segala kecurangan? Sudah seharusnya masa-masa tua adalah masa yang lebih bersih dari kebodohan dan kesalahan. Seperti kata orang ; To Be old and wise you must be young and stupid, untuk menjadi tua dan bijak, anda harus muda dan bodoh. Jika kebodohan mesti ada, cukuplah kami yang muda ini tergelincir di sana, dan ketika itu terjadi Anda-lah yang seharusnya menolong kami.

Lelah memikirkan, seperti apa orang-orang ini mengajar dalam kesaharian mereka. seperti apakah mereka memperlakukan aktivitas belajar di kelas. Marahkah mereka ketika seorang murid berkata; “saya belajar untuk ijazah”. Murkakah mereka ketika murid menyontek seperti yang baru saja mereka lakukan dalam kelas-kelas perguruan tinggi. Untuk apakah mereka mengajar; semata-mata untuk gajikah? Siapakah yang bisa menyadarkan mereka itu, Tuhan?

Barangkali inilah dunia yang mesti dimaklumi walau tak pernah bisa dipahami…

2 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini