“Pendosa yang tak terampuni”

Rabu, 21 Desember 2011

| | |
Paruh yang terlewat panjang dan melengkung, serta keadaan cakar kurang lebih sama, adalah takdir yang mesti dihadapi oleh seekor elang yang sudah tua. Paruh dan cakar seperti itu tak akan bisa digunakan untuk menyergap mangsa walau hanya seekor anak tikus yang belum hapal betul cara berlari. Elang tua lalu melakukan hal dramatis yang barangkali amat menyakitkan. Ia terbang ke gunung tinggi, disana –sendirian- ia memukul-mukulkan paruh itu ke batu, berkali-kali, hingga terlepas. Hal serupa juga dilakukan pada cakarnya yang afkir. Sakit, pasti sakit melakukan itu. Tanpa paruh dan cakar, ia harus berdiam diri selama kurang lebih kurang enam bulan, hingga paruh dan cakarnya tumbuh lagi. Sekarang, setelah itu semua, ia kembali meluncur dan melanjutkan kehidupan, hingga kematian betul-betul tak lagi bisa dihadang…

             Begitulah cermin hidup ; perjuangan. Sedangkan para nabi, yang menyebarkan agama Tuhan, tetap harus berkeringat dan berdarah, padahal apa yang mereka kerjakan adalah titah langsung dari Tuhan, apalagi kita yang berbuat untuk menyelamatkan diri seorang saja. Cita dan keinginan memang muncul dalam diri, tapi mereka terletak nun jauh disana, dan hanya perjuangan yang dapat mendekatkan kita dan mereka.
Seperti kata Heideggard, zein tum sode, kita ada untuk mati. Sama halnya dengan perjuangan, maka kematian adalah mutlak adanya. Seumpama bacaan salam dalam shalat, kematian adalah rukun kehidupan, ia-lah yang menyudahi kehidupan. Anda hidup, maka anda mati. Apa yang dikatakan Heideggard, tak ubahnya sebagai pengakuan jujur terhadap firman Tuhan ; setiap yang hidup, akan menghadapi kematian.
Jika kematian itu memang ada, maka kematian manakah yang paling berarti? Yaitu matinya para pejuang. Mereka akan terkenang dan dikenang. Sementara orang-orang putus asa, dan mati dalam keputus-asaan adalah orang paling malang dan tentunya juga paling konyol. Akal sehat segara saja akan melupakan kematian-kematian putus asa itu, terlalu memalukan untuk dikenang. Si elang tua saja, juga binatang-binatang lainnya, tak pernah putus asa dengan kehidupan mereka. Walau lebih lemah dan inferior, seekor tikus rumah sekalipun tak pernah menyerah hidup dalam intimidasi kucing. Bahkan jikalau harus mati dalam perburuan kucing, mereka mati dalam keadaan meronta, bentuk paling akhir dari perjuangan untuk bertahan hidup.
Orang-orang putus asa lalu bunuh diri, adalah pendosa yang tak terampuni. Mereka telah melakukan pengkhiatan besar terhadap takdir Tuhan, bahwa hidup adalah perjuangan, bahwa setiap masalah dipasangkan dengan beberapa jalan keluar, bahwa akal fikiran dapat menjawab seluruh persoalan. Jalan keluar memang tak akan ditemukan dalam linangan air mata, apalagi sampai membunuh diri. Ah, bunuh diri… kaum binatang saja tak pernah melakukan hal itu!
 

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini