Paruh
yang terlewat panjang dan melengkung, serta keadaan cakar kurang lebih sama,
adalah takdir yang mesti dihadapi oleh seekor elang yang sudah tua. Paruh dan
cakar seperti itu tak akan bisa digunakan untuk menyergap mangsa walau hanya
seekor anak tikus yang belum hapal betul cara berlari. Elang tua lalu melakukan
hal dramatis yang barangkali amat menyakitkan. Ia terbang ke gunung tinggi,
disana –sendirian- ia memukul-mukulkan paruh itu ke batu, berkali-kali, hingga
terlepas. Hal serupa juga dilakukan pada cakarnya yang afkir. Sakit, pasti
sakit melakukan itu. Tanpa paruh dan cakar, ia harus berdiam diri selama kurang
lebih kurang enam bulan, hingga paruh dan cakarnya tumbuh lagi. Sekarang,
setelah itu semua, ia kembali meluncur dan melanjutkan kehidupan, hingga kematian
betul-betul tak lagi bisa dihadang…
Begitulah cermin hidup ; perjuangan. Sedangkan para nabi, yang menyebarkan agama Tuhan, tetap harus berkeringat dan berdarah, padahal apa yang mereka kerjakan adalah titah langsung dari Tuhan, apalagi kita yang berbuat untuk menyelamatkan diri seorang saja. Cita dan keinginan memang muncul dalam diri, tapi mereka terletak nun jauh disana, dan hanya perjuangan yang dapat mendekatkan kita dan mereka.
Seperti
kata Heideggard, zein tum sode, kita ada untuk mati. Sama halnya dengan
perjuangan, maka kematian adalah mutlak adanya. Seumpama bacaan salam dalam
shalat, kematian adalah rukun kehidupan, ia-lah yang menyudahi kehidupan. Anda hidup,
maka anda mati. Apa yang dikatakan Heideggard, tak ubahnya sebagai pengakuan
jujur terhadap firman Tuhan ; setiap yang hidup, akan menghadapi kematian.
Jika
kematian itu memang ada, maka kematian manakah yang paling berarti? Yaitu matinya
para pejuang. Mereka akan terkenang dan dikenang. Sementara orang-orang putus
asa, dan mati dalam keputus-asaan adalah orang paling malang dan tentunya juga
paling konyol. Akal sehat segara saja akan melupakan kematian-kematian putus
asa itu, terlalu memalukan untuk dikenang. Si elang tua saja, juga
binatang-binatang lainnya, tak pernah putus asa dengan kehidupan mereka. Walau lebih
lemah dan inferior, seekor tikus rumah sekalipun tak pernah menyerah hidup
dalam intimidasi kucing. Bahkan jikalau harus mati dalam perburuan kucing,
mereka mati dalam keadaan meronta, bentuk paling akhir dari perjuangan untuk
bertahan hidup.
Orang-orang
putus asa lalu bunuh diri, adalah pendosa yang tak terampuni. Mereka telah
melakukan pengkhiatan besar terhadap takdir Tuhan, bahwa hidup adalah
perjuangan, bahwa setiap masalah dipasangkan dengan beberapa jalan keluar,
bahwa akal fikiran dapat menjawab seluruh persoalan. Jalan keluar memang tak
akan ditemukan dalam linangan air mata, apalagi sampai membunuh diri. Ah, bunuh
diri… kaum binatang saja tak pernah melakukan hal itu!
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentari tulisan ini