Kali ini aku tak pergi ke sana menggunakan sepeda motor, tapi
menggunakan kendaraan umum. Galibnya
menggunakan kendaraan umum, tentu saja beberapa kali harus jalan kaki untuk
berpindah dari kendaraan satu ke kenderaan yang lain. Ini tentu saja jauh
berbeda dengan menggunakan sepeda motor ataupun kendaraan pribadi lainnya,
tinggal duduk saja dari pintu rumah hingga kembali ke pintu rumah.
Jalan kaki sore itu telah membangkitkan kenangan akan
masa-masa yang dulu sekali. Yaitu masa-masa ketika sepeda motor belum merajai
jalanan seperti sekarang ini. Ketika itu, ada banyak orang yang jalan kaki,
sepanjang jalan ada-ada saja cerita yang bisa menjalin hubungan menjadi lebih
akrab. Tapi, jalan kaki kali ini terasa berbeda, hanya saya sendiri kecuali
beberapa anak sekolahan yang tak sempat ber-sepeda motor. Sepi rasanya, asing
sekali suasananya.
Inilah yang tempo hari diceritakan seorang kawan. Beberapa tahun
lampau jalanan di kampungnya masih dilalui banyak orang yang jalan kaki, pulang
atau pergi ke balai. “Saat itu” ceritanya sambil menerawang, “orang-orang punya
waktu yang banyak untuk saling memahami antar satu dengan yang lainnya, maota
lepas sepanjang jalan, hingga tak terasa sampai di jenjang rumah”. Lalu ia
melanjutkan ceritanya, “jika ada yang berkendara, hanyalah sepeda, si empunya
sepeda malah seringkali jalan kaki mendorong sepedanya hanya untuk ikut dalam
serunya ota jalan kaki”.
Barangkali beginilah hidup yang kita jalani, ia seperti ruang
saja. Ketika sesuatu yang baru memasuki ruang kehidupan ini, maka akan ada
hal-hal lain harus tersingkir keluar. Hal seperti ini terjadi karena sifat
ruang itu sendiri, betapapun luasnya tetaplah punya batas hingga tidaklah
seluruh hal bisa ditampung di sana. Sepeda motor telah menyerbu ruang-ruang
hidup ini, salah satu yang harus terlempar keluar karena keberadaannya adalah
hilangnya budaya jalan kaki. Lebih sedikit jalan kaki adalah lebih sedikit bertemu
dengan orang-orang, tentunya akan berkurang pula kedekatan antar manusia.
Tentunya tulisan ini tak hendak mengkambing-hitamkan
keberadaan sepeda motor. Bagaimanpun juga sepeda motor itu bebas nilai, maka kitalah
yang akan membuatnya mengandung suatu nilai, apakah akan menambah keakaraban
antar manusia atau malah sebaliknya; mereduksi nilai-nilai kemanusiaan. Begitu juga
dengan pabrik ataupun penjualnya, tentulah tak dapat dipersalahkan, mereka
hanya menjalani apa yang semestinya mereka jalani, yaitu mencari nafkah. Barangkali
kita hanya mesti merenung, bagaimana menggunakannya dengan bijak, seperti si Jepang,
walaupun mereka yang buat kabanyakan kendaraan yang kita gunakan sekarang, tapi
tetap mengutamakan jalan kaki kemana pergi. Kalau tak sanggup untuk itu,
siapkah kita tak tagi terlalu intim dengan benda ini, membuangnya di temat
sampah dan kembali jalan kaki seperti dulu ???
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentari tulisan ini