"Keakraban yang Hampir Punah”

Sabtu, 07 Januari 2012

| | |
Kali ini aku tak pergi ke sana menggunakan sepeda motor, tapi menggunakan  kendaraan umum. Galibnya menggunakan kendaraan umum, tentu saja beberapa kali harus jalan kaki untuk berpindah dari kendaraan satu ke kenderaan yang lain. Ini tentu saja jauh berbeda dengan menggunakan sepeda motor ataupun kendaraan pribadi lainnya, tinggal duduk saja dari pintu rumah hingga kembali ke pintu rumah.

Jalan kaki sore itu telah membangkitkan kenangan akan masa-masa yang dulu sekali. Yaitu masa-masa ketika sepeda motor belum merajai jalanan seperti sekarang ini. Ketika itu, ada banyak orang yang jalan kaki, sepanjang jalan ada-ada saja cerita yang bisa menjalin hubungan menjadi lebih akrab. Tapi, jalan kaki kali ini terasa berbeda, hanya saya sendiri kecuali beberapa anak sekolahan yang tak sempat ber-sepeda motor. Sepi rasanya, asing sekali suasananya.

Inilah yang tempo hari diceritakan seorang kawan. Beberapa tahun lampau jalanan di kampungnya masih dilalui banyak orang yang jalan kaki, pulang atau pergi ke balai. “Saat itu” ceritanya sambil menerawang, “orang-orang punya waktu yang banyak untuk saling memahami antar satu dengan yang lainnya, maota lepas sepanjang jalan, hingga tak terasa sampai di jenjang rumah”. Lalu ia melanjutkan ceritanya, “jika ada yang berkendara, hanyalah sepeda, si empunya sepeda malah seringkali jalan kaki mendorong sepedanya hanya untuk ikut dalam serunya ota jalan kaki”.

Barangkali beginilah hidup yang kita jalani, ia seperti ruang saja. Ketika sesuatu yang baru memasuki ruang kehidupan ini, maka akan ada hal-hal lain harus tersingkir keluar. Hal seperti ini terjadi karena sifat ruang itu sendiri, betapapun luasnya tetaplah punya batas hingga tidaklah seluruh hal bisa ditampung di sana. Sepeda motor telah menyerbu ruang-ruang hidup ini, salah satu yang harus terlempar keluar karena keberadaannya adalah hilangnya budaya jalan kaki. Lebih sedikit jalan kaki adalah lebih sedikit bertemu dengan orang-orang, tentunya akan berkurang pula kedekatan antar manusia.

Tentunya tulisan ini tak hendak mengkambing-hitamkan keberadaan sepeda motor. Bagaimanpun juga sepeda motor itu bebas nilai, maka kitalah yang akan membuatnya mengandung suatu nilai, apakah akan menambah keakaraban antar manusia atau malah sebaliknya; mereduksi nilai-nilai kemanusiaan. Begitu juga dengan pabrik ataupun penjualnya, tentulah tak dapat dipersalahkan, mereka hanya menjalani apa yang semestinya mereka jalani, yaitu mencari nafkah. Barangkali kita hanya mesti merenung, bagaimana menggunakannya dengan bijak, seperti si Jepang, walaupun mereka yang buat kabanyakan kendaraan yang kita gunakan sekarang, tapi tetap mengutamakan jalan kaki kemana pergi. Kalau tak sanggup untuk itu, siapkah kita tak tagi terlalu intim dengan benda ini, membuangnya di temat sampah dan kembali jalan kaki seperti dulu ???     

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini