Akhirnya saat dramatis itu datang
juga, yaitu ketika aku –sebagai seorang ayah- untuk pertama kalinya harus marah
kepada anakku yang –setidaknya menurutku- berwajah manis. Kanak berumur 2,5
tahun itu sudah saatnya “tahu” yang benar dan yang salah, yang patut dan tak
patut, apalagi esoknya ia akan tumbuh menjadi seorang perempuan. Marah ini
sangat diperlukan setelah nasehat-nasehat sebelumnya tak ia turuti dengan baik.
Dia kan masih belum “tahu” apa-apa? Ya, memang saat ini si kecil
belum sepenuhnya punya kesadaran diri, tapi bukankah dalam ketidak tahuan,
dalam ketidak-sadaran itu, aku bisa menanamkan kebiasaan baik, agar suatu hari,
ketika sampai masanya dia sadar dan “sudah berakal”, ia menemukan dirinya
terbiasa dengan segala hal yang baik dan
patut untuk dilakukakan. Jadi, pada masa depan ia tak kesulitan lagi untuk hal
ini.
Tadi sempat kuceritakan bahwa
saat ketika marah kepada sang anak adalah saat-saat yang dramatis. Mengenai hal
ini aku tak berlebihan sama sekali, memang begitu adanya. Bayangkan saja,
ketika aku marah, wajah imutnya dalam ketakutan dan rasa bersalah. Biasanya,
kami seringkali mengadakan kontak mata, untuk menunjukkan bahwa kita adalah
ayah dan anak, maka kali ini ia harus membuang wajahnya ke beberapa tempat,
menggeleng-geleng tak jelas, tak kuasa menatap wajahku. Ketika itu terjadi ia
diam, tak berani beranjak dari tempat duduknya. Walau demikian, terlihat sekali
ia berharap pembelaan dari bundanya, tapi kami sudah sepakat, tak ada pembelaan
di hadapan anak jika salah satu dari kami harus marah.
Bagaimana dengan aku sendiri?
Sejujurnya aku hendak menangis melihat keadaan itu. Wajah imut yang takut akan
kemarahanku, bukanlah pemandangan yang enak untuk dilihat. Jikalau boleh
memilih, maka aku hentikan saja marah ini, dan kugendong lagi ia seperti biasa,
bergelut seperti biasa. Tapi itu bukan pilihan, karenanya tak boleh memilih hal
itu. Kukesampingkan saja perasaan kasihan dan aku tetap dalam kemarahanku,
tetap dalam intonasi suara yang agak tinggi, walau hati seperti berderai.
Setelah marah itu cukup untuk
ditunjukkan, aku diam, tapi tetap menatap dirinya. Aku ingin tahu, apa
reaksinya setelah ini.
Sekarang ia terlihat sedikit
lepas dari ketakutan, kali ini ia mulai mencuri-curi untuk menatap wajahku. Aku
bergeming. Tak akan berbicara lagi, sebelum ia yang berbicara. “Minta maaf sama
ayah”, itulah saran istriku ketika si kecil bingung tentang sikap apa yang
harus ia lakukan seterusnya.
“Maaf Key ayah….” Ia minta maaf.
“Jangan diulangai lagi” Aku
melunak, namun tetap dengan intonasi tegas.
“Tidak ayah…”
“Janji!, bilang janji”
“Key… janji ayah….”
Usai sudah seluruh drama ini, aku
kembali seperti sedia kala, memeluknya, menggendongnya, dan bergelut seperti
biasa. Si kecil sangat senang keadaan cair seperti biasa. Tak lama ia berkata
sambil tertawa-tertawa “Marah ayah sama Key tadi ya…, takut Kekey, hi hi hi”
Marah karena
cinta, tak akan menimbulkan penolakan.
Marah karena
benci akan menetaskan dendam dan perlawanan.
RABU 2 NOVEMBER,
PAGI KETIKA HUJAN BARU SAJA USAI, NUANSA DINGINNYA MEMELUKKU HANGAT.
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentari tulisan ini