“Marah Pertama Untuk si Kecil”

Rabu, 02 November 2011

| | |

Akhirnya saat dramatis itu datang juga, yaitu ketika aku –sebagai seorang ayah- untuk pertama kalinya harus marah kepada anakku yang –setidaknya menurutku- berwajah manis. Kanak berumur 2,5 tahun itu sudah saatnya “tahu” yang benar dan yang salah, yang patut dan tak patut, apalagi esoknya ia akan tumbuh menjadi seorang perempuan. Marah ini sangat diperlukan setelah nasehat-nasehat sebelumnya tak ia turuti dengan baik. Dia kan masih belum “tahu” apa-apa? Ya, memang saat ini si kecil belum sepenuhnya punya kesadaran diri, tapi bukankah dalam ketidak tahuan, dalam ketidak-sadaran itu, aku bisa menanamkan kebiasaan baik, agar suatu hari, ketika sampai masanya dia sadar dan “sudah berakal”, ia menemukan dirinya terbiasa dengan segala  hal yang baik dan patut untuk dilakukakan. Jadi, pada masa depan ia tak kesulitan lagi untuk hal ini.
 
Tadi sempat kuceritakan bahwa saat ketika marah kepada sang anak adalah saat-saat yang dramatis. Mengenai hal ini aku tak berlebihan sama sekali, memang begitu adanya. Bayangkan saja, ketika aku marah, wajah imutnya dalam ketakutan dan rasa bersalah. Biasanya, kami seringkali mengadakan kontak mata, untuk menunjukkan bahwa kita adalah ayah dan anak, maka kali ini ia harus membuang wajahnya ke beberapa tempat, menggeleng-geleng tak jelas, tak kuasa menatap wajahku. Ketika itu terjadi ia diam, tak berani beranjak dari tempat duduknya. Walau demikian, terlihat sekali ia berharap pembelaan dari bundanya, tapi kami sudah sepakat, tak ada pembelaan di hadapan anak jika salah satu dari kami harus marah.
Bagaimana dengan aku sendiri? Sejujurnya aku hendak menangis melihat keadaan itu. Wajah imut yang takut akan kemarahanku, bukanlah pemandangan yang enak untuk dilihat. Jikalau boleh memilih, maka aku hentikan saja marah ini, dan kugendong lagi ia seperti biasa, bergelut seperti biasa. Tapi itu bukan pilihan, karenanya tak boleh memilih hal itu. Kukesampingkan saja perasaan kasihan dan aku tetap dalam kemarahanku, tetap dalam intonasi suara yang agak tinggi, walau hati seperti berderai.
Setelah marah itu cukup untuk ditunjukkan, aku diam, tapi tetap menatap dirinya. Aku ingin tahu, apa reaksinya setelah ini.
Sekarang ia terlihat sedikit lepas dari ketakutan, kali ini ia mulai mencuri-curi untuk menatap wajahku. Aku bergeming. Tak akan berbicara lagi, sebelum ia yang berbicara. “Minta maaf sama ayah”, itulah saran istriku ketika si kecil bingung tentang sikap apa yang harus ia lakukan seterusnya.
“Maaf Key ayah….” Ia minta maaf.
“Jangan diulangai lagi” Aku melunak, namun tetap dengan intonasi tegas.
“Tidak ayah…”
“Janji!, bilang janji”
“Key… janji ayah….”
Usai sudah seluruh drama ini, aku kembali seperti sedia kala, memeluknya, menggendongnya, dan bergelut seperti biasa. Si kecil sangat senang keadaan cair seperti biasa. Tak lama ia berkata sambil tertawa-tertawa “Marah ayah sama Key tadi ya…, takut Kekey, hi hi hi”
Marah karena cinta, tak akan menimbulkan penolakan.
Marah karena benci akan menetaskan dendam dan perlawanan.


RABU 2 NOVEMBER, PAGI KETIKA HUJAN BARU SAJA USAI, NUANSA DINGINNYA MEMELUKKU  HANGAT.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini