Kisah Idul Adha (3) : Jadi Khatib (dan orang suci)

Selasa, 08 November 2011

| | |

Menurutku para khatib adalah orang-orang yang dipilih Tuhan untuk menyampaikan pesan-pesanNya. Maka, jikalau kawan pembaca tak diundang menjadi khatib atau penceramah, artinya Tuhan belum berkehendak, alasannya cari saja sendiri. Sebaliknya, jikalau diundang untuk memberikan khutbah atau ceramah, maka penuhilah dengan sepenuh hati, siapkan diri sebaiknya, siapkan ayat, juga hadisnya, jangan sampai asal-asalan atau malah menyesatkan. Jangan lupa, terima saja amplopnya jikalau usai khutbah dan ceramah, tentunya seraya mengucapkan terima kasih. He he he he.
 Tahun ini aku tak diundang menjadi khatib Idul Adha, tapi tahun kemaren aku diundang menjadi khatib pada sebuah mushalla pinggir kota, dan ada cerita menarik tentang itu.

Pertama, aku merasa berdosa tentang undangan itu. Masalahnya adalah, aku merayakan idul adha sehari sebelumnya. Sudah kujelaskan perihal itu, tapi mereka tak mau kompromi. “Tak ada gantinya” kata mereka. Dengan sedikit terpaksa tapi mau, aku berkhutbah juga di mushalla kecil itu. Sama sekali tak nyaman berkhutbah dengan situasi seperti ini, seperti bersandiwara rasanya, dan sangat tak layak kalau urusan agama diperlakukan begini. Oh Tuhan, semoga engkau mengampuni kesalahanku. Semenjak itu aku berjanji tak akan mengulanginya lagi, biarlah mereka tak jadi shalat id, daripada harus seperti ini.

Untungnya aku tak tersilap lidah ketika berkhutbah, untung pula Tuhan tak membuatku seperti orang bingung di atas mimbar, seperti yang kutakutkan sebelum khutbah. Alhamdulillah segala sesuatnya berjalan lancar. Diluar hal tadi, ada satu hal lain yang patut kusukuri bahwa ketika itu aku mendapati kesempatan yang telah lama kuidam-idamkan, yaitu menyembelih hewan kurban.

Namun, yang paling unik dari hari itu adalah ketika usai khutbah seorang nenek menghampiriku dengan takzim. Aku curiga melihat gayanya mendekatiku, jangan-jangan ada apa-apanya. Ternyata benar ada apa-apanya.

“Buya, doakan nenek” kata nenek itu dengan takzim seolah sedang meminta dari seorang raja.

“Apa?” katakku tercengang. Si nenek langsung bercerita bahwa  beberapa hari lalu dirinya mengalami kecelakaan. Lalu ia becerita lagi bahwa tadi malam ia bermimpi, seseorang mendatanginya dan berkata “ hai nenek, jikalau ingin sehat minta doa dari buya yang bekhutbah pagi ini”

Kacau benar suasana hatiku saat itu. Ada-ada saja. Aku jadi bingung. “Setan” mana yang telah datang dalam tidur si nenek, sehingga harus begini jadinya. Aku tetap dalam kebingungan tentang harus berbuat apa, hingga seorang jamaah menyenggolku dan berkata “doakan saja!”

 Akhinya aku mendoakannya, baru saja mulai, si nenek langsung protes. “Bukan seperti itu caranya, sesuai dengan dalam mimpi, buya harus menaruh tangan di atas ubun-ubun nenek ketika berdoa”

Walau kembali terheran-heran, aku lakukan saja permintaannya. Wajah si nenek tunduk takzim ketika aku menaruh tanganku di atas ubun-ubunnya. Tiba-tiba saja, pada saat itu, aku merasa menjadi orang paling suci dunia. Patutlah ada orang yang begitu suka dikultuskan masyarakat, karena rasanya begitu enak.

Padang 7 Nov, Siang menjelang asar.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini