Menurutku
para khatib adalah orang-orang yang dipilih Tuhan untuk menyampaikan
pesan-pesanNya. Maka, jikalau kawan pembaca tak diundang menjadi khatib atau
penceramah, artinya Tuhan belum berkehendak, alasannya cari saja sendiri.
Sebaliknya, jikalau diundang untuk memberikan khutbah atau ceramah, maka
penuhilah dengan sepenuh hati, siapkan diri sebaiknya, siapkan ayat, juga
hadisnya, jangan sampai asal-asalan atau malah menyesatkan. Jangan lupa, terima
saja amplopnya jikalau usai khutbah dan ceramah, tentunya seraya mengucapkan
terima kasih. He he he he.
Tahun ini aku tak diundang menjadi khatib Idul Adha, tapi tahun kemaren aku diundang menjadi khatib pada sebuah mushalla pinggir kota, dan ada cerita menarik tentang itu.
Tahun ini aku tak diundang menjadi khatib Idul Adha, tapi tahun kemaren aku diundang menjadi khatib pada sebuah mushalla pinggir kota, dan ada cerita menarik tentang itu.
Pertama,
aku merasa berdosa tentang undangan itu. Masalahnya adalah, aku merayakan idul
adha sehari sebelumnya. Sudah kujelaskan perihal itu, tapi mereka tak mau
kompromi. “Tak ada gantinya” kata mereka. Dengan sedikit terpaksa tapi mau, aku
berkhutbah juga di mushalla kecil itu. Sama sekali tak nyaman berkhutbah dengan
situasi seperti ini, seperti bersandiwara rasanya, dan sangat tak layak kalau
urusan agama diperlakukan begini. Oh Tuhan, semoga engkau mengampuni
kesalahanku. Semenjak itu aku berjanji tak akan mengulanginya lagi, biarlah
mereka tak jadi shalat id, daripada harus seperti ini.
Untungnya
aku tak tersilap lidah ketika berkhutbah, untung pula Tuhan tak membuatku
seperti orang bingung di atas mimbar, seperti yang kutakutkan sebelum khutbah.
Alhamdulillah segala sesuatnya berjalan lancar. Diluar hal tadi, ada satu hal
lain yang patut kusukuri bahwa ketika itu aku mendapati kesempatan yang telah
lama kuidam-idamkan, yaitu menyembelih hewan kurban.
Namun,
yang paling unik dari hari itu adalah ketika usai khutbah seorang nenek
menghampiriku dengan takzim. Aku curiga melihat gayanya mendekatiku,
jangan-jangan ada apa-apanya. Ternyata benar ada apa-apanya.
“Buya,
doakan nenek” kata nenek itu dengan takzim seolah sedang meminta dari seorang
raja.
“Apa?”
katakku tercengang. Si nenek langsung bercerita bahwa beberapa hari lalu dirinya mengalami
kecelakaan. Lalu ia becerita lagi bahwa tadi malam ia bermimpi, seseorang
mendatanginya dan berkata “ hai nenek, jikalau ingin sehat minta doa dari buya
yang bekhutbah pagi ini”
Kacau
benar suasana hatiku saat itu. Ada-ada saja. Aku jadi bingung. “Setan” mana
yang telah datang dalam tidur si nenek, sehingga harus begini jadinya. Aku
tetap dalam kebingungan tentang harus berbuat apa, hingga seorang jamaah
menyenggolku dan berkata “doakan saja!”
Akhinya aku mendoakannya, baru saja mulai, si
nenek langsung protes. “Bukan seperti itu caranya, sesuai dengan dalam mimpi,
buya harus menaruh tangan di atas ubun-ubun nenek ketika berdoa”
Walau
kembali terheran-heran, aku lakukan saja permintaannya. Wajah si nenek tunduk
takzim ketika aku menaruh tanganku di atas ubun-ubunnya. Tiba-tiba saja, pada
saat itu, aku merasa menjadi orang paling suci dunia. Patutlah ada orang yang
begitu suka dikultuskan masyarakat, karena rasanya begitu enak.
Padang 7 Nov, Siang menjelang asar.
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentari tulisan ini