“Ketika Orang-Orang Tua Bercakap-cakap”

Rabu, 16 November 2011

| | |

“Hanya tinggal saya sendiri, yang lain sudah habis” Kata Bapak berambut putih itu ketika kawannya bertanya perihal kabar beberapa orang sahabat lama.

Induak bareh bagaimana keadaannya?” Bapak berambut putih balas bertanya.

“Sudah  lima tahun” kata sang kawan ringan, lalu kemudian tertawa.

“Inna lillah!” kata bapak berambut putih.

Obrolan kedua pensiunan polisi itu berlanjut akrab disela-sela antrian pengunjung kantor pajak yang bertumpuk. Kenangan masa lalu tampak sangat indah untuk dibicarakan oleh dua orang tua ini.

“Sekarang tinggal kita berdua yang seangkatan” kata bapak berambut putih.
 Kawan bapak berambut putih hanya diam saja. entah apa yang dipikirkannya. Barangkali menakar-nakar siapa yang akan lebih dahulu di antara mereka berdua. Orang-orang tua seperti itu memang sudah sangat sadar bahwa mereka bisa mati kapan saja, walaupun nyatanya malaikat kematian tak hanya mendatangai orang tua, tapi juga bahkan janin yang belum sempat kenal oksigen, mumbang jatuah, kalapo jatuah. Namun, berbeda dengan orang-orang muda, orang-orang tua itu tak punya alasan bahwa hidup mereka mampu bertahan lebih lama. Fisik mereka sudah afkir, urat-urat nafas sudah sangat lemah hingga hanya cukup dipakai untuk berjalan lambat-lambat saja, sedangkan kulit sudah begitu keriput. Dilihat dari sisi manapun, mereka memang sudah bau tanah.

“Ya, hanya tinggal kita berdua” kata kawan bapak berambut putih, ada nada “menyerah” dalam suaranya.  
Perbincangan itu terhenti sebentar. Cukup penasaran, apa yang akan diperbincangkan kedua pensiunan ini selanjutnya. Dari tadi, mereka belum sedikitpun secara terang-terangan mengucapkan kata-kata “mati”, selain hanya beberapa kata bersayap yang sudah biasa. “Apakah mereka akan berkata begini ; “umur kita tak panjang lagi”, atau “kita akan segera mati” atau yang sejenis dengan itu. Dan ternyata tidak.

“Sudah tua kita rupanya ya…” kata bapak berambut putih sambil tertawa kecil. Mendengar itu kawannya tertawa. Sekarang mereka berdua tertawa.

Walaupun kuyakin bahwa kedua orang tua ini  sadar akan segera mati, tapi tenyata mereka tak tertarik membicarakannya. Mereka lebih suka menertawakan keadaan mereka, menertawakan keadaan mereka yang sudah menua, menertawakan fisik mereka yang tak segarang dibanding ketika masih dinas sebagai Brimob dahulu kala. Lebih dari itu, mereka juga asyik menertawakan kesadaran mereka yang melupakan waktu, bahwa tanpa terasa mereka sudah tua dan karatan seperti sekarang ini, padahal –seperti kata mereka- baru kemaren ini rasanya bertugas secara gagah sebagai polisi yang hebat.

Dua orang tua ini, tak hendak berbicara serius tentang kematian-seperti yang kukira pada awalnya-. Seperti itukah seluruh orang tua ketika bertemu dengan sebaya mereka? Yang dua ini, lebih suka menikmati kelicuan yang bermunculan dari fisik mereka yang sudah lunglai, atau berbicara tentang anak dan dimana rantaunya, juga tentang negara kenapa sampai begini jadinya. Apakah ini cara agar mereka bisa terus kuat bertahan hidup ditengah fisik yang sudah begitu lemah? Apakah ini cara agar mereka terus merasa lebih muda? Ataukah karena sadar bahwa kematian itu sudah sangat dekat maka tak perlu lagi disebut-sebut, cukup dengan hanya disikapi secara bijak? Entahlah, yang jelas mereka tak pernah menyebut kata-kata “mati”.

Tiba-tiba datang orang tua lainnya, yang ini lebih tua, jalannya teseok-seok, tubuhnya sudah melengkung, tapi wajahnya senyum dan bersemangat. Si Bapak berbaju putih langsung meledek ; “Komandan, masih kuat berjalan ya?”. Bapak yang dipanggil komandan menjawab dengan yakin “Masih lah!”. Mereka bertiga lalu tertawa-tawa, kemudian saling bertukar kabar, dan bernostalgia dengan akrab…

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini