Kisah Idul Adha (2) :Dua Belas Sapi (setelah dua belas tahun penantian) dan Satu Kambing.

Selasa, 08 November 2011

| | |

Judul di atas adalah track record penyembelihanku untuk ternak kaki empat. Aku senang dengan rekor ini. Ketika aku membanggakan record ini dihadapan istri, ia menjuluki diriku “tukang jagal”, untuk julukan ini jelas saja aku tak senang sama sekali.

Jumlah di atas adalah catatan untuk dua tahun. Ya, tahun kemarenlah pertama kalinya dalam hidup, aku harus menyembelih ternak berkaki empat. Saat itu sebanyak tiga ekor sapi dan satu ekor kambing. Sebenarnya ada empat ekor sapi, tapi baru sampai sapi ke tiga, tanganku tak lagi punya daya (mungkin karena kesempatan pertama), aku menyerahkannya kepada yang lain. Pasti sapi keempat itu tak beruntung, karena ia melewatkan kesempatan satu-satunya dimana ia disembelih oleh seorang yang suka menulis. He he he he.
Tahun ini ada sembilan ekor sapi berhasil aku sembelih. Walaupun latar belakang keberadaanku sebagai penyembelih hewan kurban untuk tahun ini agak memiriskan, tapi sangat istimewa sekali rasanya. Tahun kemaren karena aku yang jadi khatib, maka akulah yang menyembelih, begitu adat mushallanya.

Sebagian orang bertanya, tidakkah kasihan atau ngeri harus menyembelih sapi? Tentu tidak. Tujuan hidup hewan ternak adalah untuk memberi manfaat kepada manusia. Maka, ketika ia mati disembelih lalu dimasak dan dimakan, maka tujuan hidupnya tercapai sudah, apalagi kali ini dalam rangka ibadah idul adha. Jikalau hewan-hewan itu punya perasaan senang, pastilah ia merasa senang dengan cara-cara yang tidak kita tahu. Siapa sih yang tak senang tujuan hidupnya tercapai? Sedangkan aku mereasa terhormat menjadi pemeran penting dalam sejarah hidup si hewan ternak. Yaitu, ketika ia  harus mati untuk tujuan hidupnya, akulah yang menyembelihnya. Aku dan si tenak adalah actor utama pada kejadian dramatis itu. He he he he.

Lagi pula, penyembelihan yang kulakukan adalah angan-angan masa lampau. Dahulu ketika duduk di kelas dua pesantren, sempat belajar teori penyembelihan ternak menurut islam. Adalah tak menyangka teori itu bisa kuaplikasikan pada hewan berkaki empat setelah masa dua belas tahun lamanya. Like the dream comes true, begitulah istilahnya. Dari sini aku belajar, bahwa penting untuk belajar sebanyak-banyaknya, suatu saat engkau dituntut untuk melakukan sesuatu dan alangkah beruntungnya engkau bisa karena telah belajar sebelumnya.

Selain itu aku juga tak perlu merasa kasihan atau ngeri akan ternak yang putus urat-urat lehernya lalu mengeluarkan darah. Ini bukan kecelakaan, maka tak perlu ngeri. Si ternak tak merasa kesakitan, maka tak pelu kasihan. Tak merasa kesakitan? Ya, aku tak salah ketik. Penelitian menunjukkan bahwa ternak yang disembelih dengan cara Islam, titik-titik saraf di otak mereka tak menunjukkan indikasi rasa sakit. Bukankah tubuh si hewan ternak meregang ketika setelah di sembelih? Ya memang tubuhnya meregang, tapi bukan karena sakit, tapi itu adalah reaksi otot, dimana darah secara cepat dan mendadak mengalir pada urat-urat untuk berebutan keluar dari tubuh melalui leher. Jutru hewan yang dimatikan dengan cara dipinsankan terlebih dahulu yang menunjukkan gejala-gejala sakit pada saraf-saraf di otak. Makanya, ternak yang disembelih secara Islam, menghasilkan daging dengan kualitas yang lebih baik yaitu daging yang bebas darah. Itulah faktanya ilmiahnya.
Jadi, tak pelu ngeri dan kasihan…

Tarusan, pagi 7 november 2011, tulisan kedua pagi ini…

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini