Judul
di atas adalah track record penyembelihanku untuk ternak kaki empat. Aku senang
dengan rekor ini. Ketika aku membanggakan record ini dihadapan istri, ia
menjuluki diriku “tukang jagal”, untuk julukan ini jelas saja aku tak senang
sama sekali.
Jumlah
di atas adalah catatan untuk dua tahun. Ya, tahun kemarenlah pertama kalinya
dalam hidup, aku harus menyembelih ternak berkaki empat. Saat itu sebanyak tiga
ekor sapi dan satu ekor kambing. Sebenarnya ada empat ekor sapi, tapi baru
sampai sapi ke tiga, tanganku tak lagi punya daya (mungkin karena kesempatan
pertama), aku menyerahkannya kepada yang lain. Pasti sapi keempat itu tak
beruntung, karena ia melewatkan kesempatan satu-satunya dimana ia disembelih
oleh seorang yang suka menulis. He he he he.
Tahun
ini ada sembilan ekor sapi berhasil aku sembelih. Walaupun latar belakang
keberadaanku sebagai penyembelih hewan kurban untuk tahun ini agak memiriskan,
tapi sangat istimewa sekali rasanya. Tahun kemaren karena aku yang jadi
khatib, maka akulah yang menyembelih, begitu adat mushallanya.
Sebagian
orang bertanya, tidakkah kasihan atau ngeri harus menyembelih sapi? Tentu
tidak. Tujuan hidup hewan ternak adalah untuk memberi manfaat kepada manusia.
Maka, ketika ia mati disembelih lalu dimasak dan dimakan, maka tujuan hidupnya
tercapai sudah, apalagi kali ini dalam rangka ibadah idul adha. Jikalau
hewan-hewan itu punya perasaan senang, pastilah ia merasa senang dengan
cara-cara yang tidak kita tahu. Siapa sih yang tak senang tujuan hidupnya
tercapai? Sedangkan aku mereasa terhormat menjadi pemeran penting dalam sejarah
hidup si hewan ternak. Yaitu, ketika ia
harus mati untuk tujuan hidupnya, akulah yang menyembelihnya. Aku dan si
tenak adalah actor utama pada kejadian dramatis itu. He he he he.
Lagi
pula, penyembelihan yang kulakukan adalah angan-angan masa lampau. Dahulu
ketika duduk di kelas dua pesantren, sempat belajar teori penyembelihan ternak
menurut islam. Adalah tak menyangka teori itu bisa kuaplikasikan pada hewan
berkaki empat setelah masa dua belas tahun lamanya. Like the dream comes
true, begitulah istilahnya. Dari sini aku belajar, bahwa penting untuk
belajar sebanyak-banyaknya, suatu saat engkau dituntut untuk melakukan sesuatu
dan alangkah beruntungnya engkau bisa karena telah belajar sebelumnya.
Selain
itu aku juga tak perlu merasa kasihan atau ngeri akan ternak yang putus
urat-urat lehernya lalu mengeluarkan darah. Ini bukan kecelakaan, maka tak
perlu ngeri. Si ternak tak merasa kesakitan, maka tak pelu kasihan. Tak merasa
kesakitan? Ya, aku tak salah ketik. Penelitian menunjukkan bahwa ternak yang
disembelih dengan cara Islam, titik-titik saraf di otak mereka tak menunjukkan
indikasi rasa sakit. Bukankah tubuh si hewan ternak meregang ketika setelah di
sembelih? Ya memang tubuhnya meregang, tapi bukan karena sakit, tapi itu adalah
reaksi otot, dimana darah secara cepat dan mendadak mengalir pada urat-urat
untuk berebutan keluar dari tubuh melalui leher. Jutru hewan yang dimatikan dengan
cara dipinsankan terlebih dahulu yang menunjukkan gejala-gejala sakit pada
saraf-saraf di otak. Makanya, ternak yang disembelih secara Islam, menghasilkan
daging dengan kualitas yang lebih baik yaitu daging yang bebas darah. Itulah
faktanya ilmiahnya.
Jadi,
tak pelu ngeri dan kasihan…
Tarusan,
pagi 7 november 2011, tulisan kedua pagi ini…
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentari tulisan ini