IRONI NEGERI

Sabtu, 15 Oktober 2011

| | |
Perihal merokok atau tidak, bagi banyak orang adalah hak pribadi yang mutlak. Jika aku merokok, maka engkau tak dapat menyuruhku berhenti karena rokok itu dibeli sepenuhnya dengan uangku. Dihadapkan pada argumen seperti itu, orang-orang akan terbungkam, walaupun ada banyak argumen lain untuk menggugat, tapi yang ini sangat mendasar.

Kebanyakan orang Indonesia berkulit sawo matang, sebagian berkulit kuning. Kebanyakan si
pemilik sawo matang telah berubah menuju legam. Ya, kebanyakan orang Indonesia harus bekerja begitu keras, langsung di bawah sinar mentari yang menjarang bumi, apakah sebagai pedangang asongan, pemulung, pedagang kaki lima dan seabrek profesi lain yang harus dikerjakan hanya dengan beratap langit. Mereka adalah orang-orang rentan. Walau pekerjaan yang mereka lakukan begitu kerasnya, namun hasil yang mereka perolah tak pernah cukup memadai untuk beberapa “kemewahan” yang sangat dasar ; pendidikan, kesehatan, rumah, juga pangan. Akan tetapi, kebanyakan mereka adalah para perokok. Di luar sana, mereka tertatih-tatih untuk sebuah kelayakan, namun bibir hitam mereka tiada henti menghisap dan menghembuskan asap tembakau.

Dengan sedikit kejelian, akan terlihat begitu banyak orang yang berpakaian secara menyedihkan –yang bagi sebagian orang pakaian itu tak cocok walau hanya untuk jadi kain lap- namun ada bungkusan rokok yang tiap hari berganti dengan yang baru. Aku pernah melihat seorang anak yang harus mengalah untuk dibelikan kue, karena bapaknya tak mau mengalah untuk sebungkus rokok. Satu-satunya kata yang sesuai untuk situasi ini adalah ironi. Jerat penderitaan yang dijawab dengan bermewah-mewah untuk rokok adalah hal yang tak masuk akal sama sekali.

Namun itu terjadi di sini, aneh memang. Sama anehnya dengan kawan-kawan yang rela menempatkan diri dalam sebuah resiko besar karena candu asap rokok, yaitu resiko kematian atau minimal resiko untuk hidup tidak fit dan sakit-sakitan. Apalagai kalau mengingat bahwa kehidupan yang kita jalani tidaklah semata-mata untuk diri sendiri, ada banyak individu lain yang menitip harap pada keberadaan kita, anak, istri, orang tua atau saudara. Bagaimana bisa menjawab harapan itu dengan baik, jikalau kita sendiri hidup dalam kubangan resiko yang mana kita sendirilah yang terjun bebas kedalamnya...

Salah satu monument besar, lambang dari betapa negeri ini begitu absurd adalah rokok…

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini