Diceritakan dalam novel Andrea Hirata bahwa Naomi adalah penjual kue Hok Lo Pan yang amat lezat. Beginilah gambaran Andrea tentang lezatnya kue bikinan Naomi itu; bisa bikin lupa mertua! Maka tidaklah mengherankan jikalau kue itu menjadi amat legendaris di kampung Andrea, sampai-sampai untuk menikmati kelezatannya harus rela antri di depan gerobak Naomi dan orang miskinpun mau memaksa diri untuk menabung dulu agar bisa beli itu kue.
Jikalau orang-orang menunjukkan kegilaan yang seperti itu terhadap kue bikian Naomi, bagaimanakah dengan Naomi sendiri?
Diceritakan bahwa Naomi acuh-tak-acuh saja terhadap orang-orang yang berdesakan membeli kue yang Hok Lo Pan bikinannya. Memang tidak diceritakan bagainama sikap Naomi terhadap kue lezat bikinannya, tapi rangkaian cerita andrea tetang Naomi dan kuenya sudah cukup menunjukkan kepada kita bahwa Naomi memandang kuenya tak lebih dari sebuah makanan yang dapat menghasilkan uang. Ya, tidaklah lebih dari itu, sebagai sumber uang. Aku berani bertaruh bahwa seorang pembuat kue tak akan memakan kue-kuenya selain hanya mencicipi…
Juga terdapat seorang OB (office boy) sebuah Bank yang wara-wiri tiap hari menggendong “buntalan” pecahan seratus ribuan yang tingginya hingga satu meter. Melihat uang setinggi itu, aku -mungkin juga nasabah lainnya- akan berkhayal liar tak tentu arah, tapi tidaklah demikian dengan pegawai penggendong tumpukan uang itu. Tumpukan uang yang ia bawa setiap hari, tak lebih dari benda biasa yang mesti diurusnya, sama persis seperti sampah dalam pandangan seorang tukang sampah.
Potret-potret di atas adalah hikayat tentang sudut pandang. Nilai sesuatu tergantung dari perspektif mana engkau melihatnya. Naomi dan pelanggannya punya sudut pandang yang tidak sama terhadap kue Hok Lo Pan, satu pihak hanya memandangnya sebagai sumber uang, sementara pihak lainnya memandangnya sebagai mainan lidah yang sayang kalau tak dinikmati. Hal yang sama juga berlaku pada OB yang ditugasi menggendong-gendong tumpukan uang dari satu tempat ke tempat lainnya. Perspektif sampah bagi seorang tukang sampah adalah sumber penghidupan baginya dan bagi keluarganya, berbeda dengan kebanyakan kita, bahwa sampah adalah sesuatu yang tak bernilai.
Baik kue Hok Lo Pan, tumpukan uang, ataupun sampah hanya dimaknai oleh tokoh-tokoh di atas sebagai sumber kehidupan. Betapapun dramatisnya benda-benda yang mereka geluti, tapi mereka tidak larut dalam kedramatisannya, karena ada kepentingan yang lebih besar dari itu; yaitu melanjutkan kehidupan. Jikalau saja mereka larut dalam kedramatisan benda-benda itu, si Naomi memakan kue Hok Lo Pan buatannya sampai habis, si Office Boy melarikan tumpukan uang dan si tukang sampah merasa amit-amit terhadap sampah-sampahnya, mereka akan gagal melanjutkan kehidupan.
Dunia tempat kita hidup kadangkala lezat bagaikan kue Hok Lo Pan buatan Naomi, kadangkala menggoda seperti tumpukan uang yang digendong si OB, terkadang meresahkan bagai tempat sampah, namun apakah kita akan terjebak pada hal-hal yang semacam itu? Dunia tergantung sudut pandang masing-masing. Jikalau saja ada orang yang memandang dunia sebagai jembatan untuk kepentingan yang lebih besar yaitu kepentingan akhirat, maka itu baik. Jikalau saja ada orang yang terpaku pada dunianya, bahwa dunialah tujuan hidupnya, maka orang-orang itu bagaikan Naomi yang memakan habis kue Hok Lo Pan buatannya, atau seperti OB yang tiba-tiba saja melarikan tumpukan uang yang ia gendong, atau seperti tukang sampah yang tengsi terhadap sampah-sampahnya. Bayangkan saja sendiri jika itu terjadi…
Ketika sudut pandang terhadap dunia dengan segala realitasnya adalah jembatan menuju Tuhan, maka pada saat itu engkau menjadi raja bagi dirimu yang merdeka dari ikatan-ikatan kecemasan…
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentari tulisan ini