Tampilan fisik sebuah peristiwa kadangkala begitu dramatis pada mata kita. Seperti halnya Nabi Musa, ia berulangkali terperanjat melihat beberapa ulah nabi Khidir yang terlihat aneh, yaitu merusak perahu orang miskin, membunuh seorang anak kecil dan memperbaiki sebuah rumah walau tak diminta penghuninya. Ternyata itu semua hanyalah sebuah lambang, ada hakikat dan rahasia besar yang membuat seluruh peristiwa yang sempat memantik protes nabi Musa itu menjadi masuk akal dan wajar-wajar saja. Lebih penting dari itu, ada pelajaran hidup yang sangat berharga.
Rasa lapar dan haus yang mesti kita tanggungkan pada Ramadhan ini –pada satu sisi- tak ubahnya seperti ulah Nabi Khidir, yaitu sebagai perlambang, lambang dari sesuatu yang amat besar. Ada sesuatu yang lain dari sekedar perih di lambung yang ingin diperkenalkan kepada kita. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekedar rasa kesat di tenggorakan yang mesti kita tanggungkan. Lemas yang terasa, bukan itu sesungguhnya yang harus dirasai, tapi sesuatu dibalik itu, sesuatu yang lebih besar.
Lapar, haus dan lemas identik dengan sebuah penderitaan. Riwayat-riwayat penderitaan yang terjadi di kolang jagad ini, mesti melibatkan setidaknya satu dari tiga rasa di atas. Nabi Muhammad dan para sahabat, diboikot habis-habisan oleh elit Quraisy, dikucilkan ditengah gurun kering nan terpencil, maka mereka menjadi sangat lapar dan tentunya sangat lemas, jauhlebih lapar dan lemas daripada yang kita rasakan sekarang. Rasa haus tentara Thalut, lebih perih dari yang kita rasakan sekarang mengingat ketika itu mereka harus bertempur habis-habisan dengan pasukan Jalut yang jauh lebih kuat dan tentunya lebih kenyang. Begitulah segelintir kisah dalam kitab suci tentang rasa lapar dan haus yang memang indentik dengan “penderitaan”.
Ramadhan memaksa kita untuk mencicip sedikit penderitaan, yaitu melalui sebuah simulasi sederhana dengan merasakan haus dan lapar hingga maghrib datang. Walau seberapa berat lapar dan seberapa kesatnya rasa haus mendera kerongkongan, kawan tak boleh sekehendak perut untuk makan dan minum. Harus menahan. Dihadapkan pada situasi itu, maka lebih baik menikmatinya daripada mengeluh-ngeluh tak karuan. Kita dapat bertahan dengan mengaktakan bahwa kita kuat menjalaninya, kita dapat bertahan jikalau kita menegasikan rasa lapar dan haus dari pikiran kita dengan terus menjalani kesibukan tertentu. Kalau sudah demikian, tak terasa maghrib datang, silahkan menikmati air dan makanan, silahkan menikmati fakta bahwa kita telah menang.
Maka, Ramadhan sama persis dengan kehidupan yang kita jalani. Ketika menahan lapar dan haus menjadi rukun bagi ibadah Ramadhan, maka bertahan atas derita adalah rukun bagi kehidupan. Penderitaan hidup -berapapun besarnya- hadapilah dengan gagah, seperti menghadapi lapar dan haus pada siang-siang Ramadhan. Karena penderitaan dalam hidup adalah sebuah keniscayaan, maka ketika itu tak ada gunanya berkeluh kesah, nikmati saja, tahanlah diri agar tak putus asa, jangan pula mendramatisir karena akan membuat perasaan semakin terbebani. Satu hal yang mesti kita yakini, pada suatu waktu, penderitaan itu akan lindap, seperti maghrib yang menyudahi haus dan lapar. Sabarlah, “maghrib kehidupan” pasti datang, dan saat itu kita adalah para pemenang!
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentari tulisan ini