Namanya sungguh cantik ; Annona Muricata Linn. Jikalau kawan agak payah mengingat dan merapalkan nama unik tersebut, cukup panggil saja ia dengan sebutan “sirsak”, boleh juga dipanggil “durian lando” atau “durian balando”. Terserah mana yang nyaman, yang jelas kata “sirsak” berasal dari sebuah kata bahasa Belanda ; “zuursak” alias kantong asam. Sementara itu, “durian lando” adalah kata warisan nenek moyang. Keduanya sama saja, selain merujuk pada buah yang sama, mereka juga sama-sama berbau Belanda yaitu kaum kumpeni yang pernah menjajah nenek moyang kita habis-habisan. Overdome!
Tiada yang istimewa dari sirsak. Kehadirannya tak pernah ditunggu-tunggu seperti durian. Kalau disimpan cepat busuk. Walau nama latinnya indah, nama indonesianya agak janggal, bunyi “sak” pada akhir kata mengingatkan pada toko bangunan ; semen satu sak!. Buah ini tiada pula diberi julukan hebat seperti buah manggis yang kerap disebut sebagai “queen of fruit”. Batang dan daunnya seperti bagian semak tak berguna saja ; tidak lebat dan rimbun seperti dadok, tidak tinggi seperti jati. Terlebih bagiku pribadi, pertama kali mengenal sirsak alias durian lando itu kesannya sungguh tidak baik. Kenal sirsak pertama kali pada waktu kecil dahulu adalah dari halaman belakang rumah tetangga. Malangnya si bapak pemilik sirsak adalah orang yang agak tak ramah dengan kanak-kanak. Ditambah lagi si bapak-ganas itu berkepala colak licin dan berkumis tebal hitam pekat. Bagi kami para kanak-kanak, wajah semacam itu dipadukan dengan sikap tak ramah membuat si pemiliknya setingkat lebih menakutkan dari hantu pocong! Oleh karena itu, kadangkala sirsak mengingatkan pada wajah bapak-ganas-berkepala-colak, seperti saat menulis ini. Trauma masa kecil.
Namun, ketidak-istimewaan sirsak adalah cerita masa lalu. Akhir-akhir ini, kita –mau tak mau- dibuat terkagum-kagum dengan buah yang satu ini. Ternyata penelitan mutakhir menunjukkan bahwa buah sirsak sangat kaya antioksidan yang dapat menyebabkan penuaan, bisa awet muda!. Kulit, batang maupun akarnya bisa untuk obat. Bunganya biasa digunakan orang Brazil untuk mengobati saluran pernapasan (bronchitis). Ter-istimewa adalah daunnya. Daun sirsak yang tak menarik itu ternyata mengandung actogenins yang tinggi sehingga dapat mengobati kanker, bahkan berpeluang besar menjadi pengganti kemoterapy bagi penderita kanker. Hebatnya kemoterapi ala zat acotegenis daun sirsak tak akan menimbulkan efek samping yang kerap muncul pada kemoterapi biasa. Dengan kata lain kemoterapi daun sirsak tak pakai muntah dan rambut rontok, dan yang paling penting, tetap bisa makan enak!. Sebaiknya para kaum pramuka mengganti logo mereka dari cikal kelapa menjadi batang dan buah sirsak.
Cerita tentang sirsak adalah cerita tentang sesuatu yang dulunya dianggap tak berharga kurang mendapat sorotan, lalu sekarang tiba-tiba menjadi istimewa. Alam sekali lagi menunjukkan kepada kita, bahwa dikemudian hari segala sesuatunya dapat memproleh status yang lebih baik –atau sebaliknya-. Terkait dengan status sirsak dari tanaman biasa menjadi primadona, manusia juga bisa punya cerita yang sama persis. Seperti Umar bin Khattab, bertransformasi dari preman quraisy yang membunuh putrinya sendiri, menjadi orang yang berkedudukan tinggi, hingga iblis-pun sungkan menatap wajahnya. Kawan kita yang berkaluan tak menyenangkan, janganlah dibenci dan dicaci, barangkali mereka adalah “sirsak-sirsak” dari golongan manusia, yang menyimpan potensi hebat dan esoknya menjadi kawan dan harapan banyak orang.
Mari kita bayangkan orang yang kelakuannya menyebalkan atau orang-orang yang sepertinya tak punya harapan. Mari berdoa untuk mereka, dan tentu saja juga untuk diri sendiri ; agar Tuhan melapangkan jalan mereka dan jalan kita, agar kita dan mereka menutup mata dalam keadaan lebih baik. Amiiin!
Karena sebelum ajal, manusia tak akan berhenti berubah. Transformasi hingga ajal.
Tahukah kenapa tulisan ini kubuat?
Kemarin ini aku jalan-jalan sebentar ke fakultas adab setelah mengajar di kelas A semester dua. Bertemu dengan pak Yufni Faisol, kami bertetangga tapi sudah agak lama tak bertukar kabar. Alhasil dari pembicaraan singkatku dengannya aku kabarkan bahwa aku telah mengajar dengan menjadi asisten pak Armen Mukhtar. Beliau senang.
Disamping pak Yufni Faisol berdiri seorang lagi dosen fakultas adab yang juga guru kaligrafiku di pesantren dulu. Pak Muhapril Musri namanya, mantan jawara kaligrafi nasional. Jika pak Faisol senang aku bisa mengajar di IAIN, maka beginilah tanggapan pak Muhaparil ; “Tidak saya sangka wa’ang bisa nyambi jadi dosen, dulu ketika wa’ang kecil, macam tak akan menjadi orang saja! serius! seperti tak akan jadi orang!”
Aku terkejut, betul-betul terkejut.
Lalu akhirnya tertawa.
Ha ha ha ha...
Setidaknya ketika Pak Muhapril mengatakan kata-katanya ajaibnya itu, saat itu aku lebih ganteng dari pada dia. Bukankah anak muda selalu lebih ganteng daripada orang tua?
Ha ha ha ha ha ha ha ha ha…
Bravo Pak Muhapril!
Terima kasih banyak sekali telah menyadarkanku akan keadaanku dulu, hingga sampai tersenyum-senyum membayangkannya. Lebih dari itu, engkau telah menyuntikkan semangat untuk lebih maju, agar suatu saat aku bisa membuat bapak tercengang untuk kedua kalinya. Tapi sebenarnya ada yang lebih penting dari itu ; engkau telah mengingatkanku sejak dini agar tak lupa diri.
Mudah-mudahan kita semua terus bertransformasi ke arah yang lebih baik. Amiiiiin ya Rabb!
-demikianlah tulisan ini kusampaikan, sekarang saatnya minum jus sirsak buatan istri…-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentari tulisan ini