“Kucing Jantan Senior” (lagi-lagi tentang kucing)

Senin, 06 Juni 2011

| | |
Manusia hidup dengan akal pikiran. Segala sesuatu yang dilakukannya adalah hasil dari pertimbangan-pertimbangan pikiran, apakah pertimbangan itu matang, setengah matang, atau mentah sama sekali. Jika ada seseorang yang sukses, maka tak ada salahnya kita mengagumi sosoknya itu, karena kesuksesannya itu lahir dari proses berpikir keras diiringi kerja cerdas plus ada formula tahan banting yang telah ia rumuskan di alam pikirannya. Jika ada seseorang yang kerjanya hanya mengacau saja, minta-minta uang di jalan rusak sambil berlagak memperbaiki jalan itu atau memaksa uang parkir di masjid setelah shalat Jumat, maka orang-orang seperti ini pantas untuk disesali keberadaannya. Karena mereka telah memutuskan menjadi sampah, terlepas keputusan itu dipertimbangkan dengan matang atau sambil lalu saja.

Jika laku tirakat manusia adalah hasil akhir dari apa yang mereka pikirkan, maka tidak demikian dengan binatang. Binatang menampilkan laku hidup berdasarkan insting permberian Tuhan. Binatang tak bisa memutuskan, hanya menjalani saja. Harimau tak pernah memilih untuk menjadi predator buas pemakan daging. Kambing tak bisa menolak menjadi makhluk bau karena tak mandi-mandi. Kerbau tak bisa membuat diri mereka tampak lebih cerdas dan sedikit intelek, karena insting telah membawa mereka ke dalam kubang lumpur. Lihat juga monyet, makan dengan rakus, grasa-grusu rebut sana dan sini, sambil teriak-teriak liar dan berlaku norak. Guru manapun tak akan sukses mendidik mereka agar bisa menampilkan sikap makan yang elegan. Binatang tak dapat dididik, hanya dapat dilatih, itupun karena sebuah motivasi tunggal, yaitu mendapat imbalan makan –penjelasan tentang ini dapat kawan baca kajian tentang psikologi kaum behaviorisme-.



Semua tentang  binatang adalah perkara insting. Bagi kaum binatang, insting itu adalah takdir tunggal yang tak kuasa dirobah dan tak pula pernah terpikir oleh mereka untuk merobahnya. Barangkali, hal inilah yang menjadi dasar ketika Tuhan mencerca manusia pendosa yang hanya menuruti hawa nafsu belaka sebagai sosok yang lebih keji dan hina dari binatang. Binatang saja kadangkala menampilkan sikap “patuh” dan “kasih sayang” yang membuat kita kagum dan harus belajar…

Maka tak salah jikalau kaum bijak mengatakan bahwa manusia harus arif atas dunia binatang – tentu saja juga alam semesta-. Memang, manusia dengan segala kelebihannya, berpotensi memiliki sikap arif terhadap binatang. Tidak demikian halnya dengan binatang, mereka tak bisa diharapkan sedikitpun untuk arif akan keberadaan dan harapan-harapan manusia. Maka, jikalau ada orang yang marah-marah kepada seekor binatang karena binatang itu menampilkan prilaku yang merugikan, maka ia adalah orang yang sangat lebay!

Dan inilah cerita tentang aku yang baru saja berlaku lebay

Kucing jantan yang sudah tua itu adalah salah satu rombongan kucing yang sering masuk rumah. Misinya jelas, mencuri makanan. Kucing senior yang satu ini tak pernah minta baik-baik, jika kami sedang makan, ia bergaya cuek seolah tak butuh, tapi begitu kami lengah, sepotong dua potong siap disambar. Ia mencuri tak hanya dari piring makan, tapi juga dari kuali, bahkan lemari sambal. Bagiku, “sikap hidup” kucing ini sangat mengesalkan, ditambah lagi bentuknya yang buruk ; bulu yang abu-abu gelap kotor dan kepala besar yang tak enak dipandang mata. Namun, kami mencoba berdamai dengan diri sendiri untuk bisa sabar atas keberadaannya. Bentuk kesabaran itu adalah, jika ia masuk rumah, kuusir saja dengan baik-baik.

Namun tembok kesabaranku terhadap kucing tua ini persis sama dengan tanggul penahan lumpur lapindo di Sidoarjo sana ; semakin lama semakin rapuh lalu jebol! Perkara yang membuatku tak dapat lagi menahan marah adalah gaya si kucing ketika diusir keluar rumah. Ia selalu mengincingi apapun yang dapat ia kencingi apakah itu pintu rumah, dinding rumah, sepeda motor yang tengah diparkir dihalaman, atau pintu pagar. Ketika ia melakukan itu seolah-olah ia tengah mengejek, “dasar tuan rumah pelit, makan ini!” Croootttt!, urinenya yang kuning dan busuk tengik itu sungguh menjijikkan!

Setelah berkali-kali ia melakukan itu, ku ambil sapu, ku lempar ke arahnya dengan penuh emosi, ia berkelit lalu lari, tapi kemudian berhenti sebentar dekat pot bunga. Gelagat tubuhnya menunjukkan bahwa ia tengah mempersiapkan daya dorong untuk menghasilkan efek semprotan urine yang dramatis. Karena tak ada benda lain yang cocok  untuk melempar si kucing agar ia tak jadi mengencingi bunga atau potnya – waktu itu yang ada di dekatku sebuah laptop dan sebuah kursi tamu-, aku berteriak keras-keras ; ooooooooooiiiiiiiiiiii!”. Si kucing terkejut, tapi di sela-sela keterkejutannya itu, ia berhasil menyemprotkan sesuatu. Kurang ajar!

Aku benar-benar marah dengan ulahnya. Mengumpati kucing jantan itu sambil ngamuk-ngamuk. Betul-betul marah. Sampai-sampai kehilangan mood beberapa saat lamanya….
Untunglah pada akhirnya aku bisa menguasai diri dan sadar bahwa aku telah membebani perasaan dengan sesuatu yang tak seharusnya. Kucing itu, akan tetap seperti itu hingga mati, walau bagaimanapun aku menunjukkan kemarahan kepadanya. Aku insaf, bahwa aku manusia dan ia tak lebih dari seekor kucing jantan yang sudah afkir. Sebagai tanda insaf, kutulis tulisan ini…

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini