"Kicau"

Senin, 09 Mei 2011

| | |
Wuuih, pagi ini cuaca cerah. Cahaya matahari tak sedikitpun dihalangi awan untuk sampai ke bumi tempat kita tinggal. Hasilnya ; sungguh terang, embun di rumput dan tanah pun menguap secara gradual ke udara. Kemanakah embun-embun tersebut? Mereka disimpan di atas langit sana, dimurnikan kembali, lalu diturunkan lagi esok menjelang fajar, untuk menyambut jamaah yang hendak menunaikan shalat shubuh di masjid.

Pagi yang cerah ini, kudengar burung kembali berkicau, entah jenis burung apa yang berkicau, yang pasti bukan pipit atau burung geraja, mungkin burung murai atau marabah, atau bisa saja burung tempua. Aku tak tahu pasti. Yang pasti, kicuan itu sungguh indah di telinga ini, pagi yang cerah ditambah dengan kicuan burung yang indah adalah hal yang sempurna dari sebuah hari yang bermula –bukan berarti jika hujan tak sempurna, hujan tak ketinggalan menawarkan keindahan dalam bentuk yang lain lagi, dan bagaimanapun juga, baik cerah ataupun hujan, keduanya adalah pemberian Tuhan yang istimewa-


Tapi sebuah pertanyaan mulai menganggu, sampai kapankah kicauan yang muncul sesekali itu akan terdengar? Maklum, siapa pun tak kan bisa menyangkal bahwa habitat hidup burung-burung, maupun hewan lainnya tengah terancam. Di sekitar rumahku ada beberapa buah pohon kelapa tinggi-tinggi, diatasnya ada bebarapa sarang tempua, dan agaknya pohon-pohon kelapa paling senior itu akan segera hilang, maklum developer tak pernah senang melihat tanah kosong, harus dibangun seluruhnya menjadi rumah. Jangankan untuk habitat burung, ruang untuk kanak-kanak yang tengah candu bermain, tak dikasih secuil-pun!

Orang-orang tua pernah bercerita bahwa dulu sekali, burung-burung berkelebat bebas di alamnya. Rombongan pipit menjahili petani, petani pun gemas, murai berkicau-kicau di pagar-pagar sawah, burung gereja hilir mudi kesana kemari mencari jerami kering, demikian pula rombongan balam dan merabah, tak segan-segan terbang keliling kampung. Dari pagi hingga siang, siang menuju sore, sore ditutup senja, kicau bersahut-sahutan, belum lagi jika sesekali burung rimba yang cantik jelita menampakkan diri di hutan-hutan tepi kampung. What a wonderfull life! Kita tak punya itu lagi. Aku sampai dibebani rindu akan itu, walau tak pernah bersua itu semua.

Kita butuh pohon, semak, burung dan suaranya, kita butuh alam dan keindahan, sayangnya keindahan itu harus dijual dan dilego habis demi mengumpulkan uang. Ketika keindahan alami itu hilang, bencana pun muncul, sementara si pemilik uang pergi jauh meninggalkan kerusakan lingkungan yang yang ditimbulkannya. Kata orang-orang, mereka pergi aman ke sebuah pulau kecil yang bernama Singapura, benarkah itu? Entahlah. Apalah jadinya kita-kita ini esok harinya, hidup tanpa diiringi keindahan alam, yang mana ia adalah sumber inspirasi utama atas segal seni dan sastra juga kebijaksanaan. Entahlah, entahlah…


Kita anak manusia, hidup memababat, lalu dari hari ke hari semakin kehilangan rasa dan kebijaksanaan.
Kita dipaksa merasa cukup dengan uang dan segala hiburan buatan yang palsu.
Kita mengorbankan burung dan alam lalu menggantinya dengan patung dan pajangan.
Benar kata seorang penulis yang ku lupa namanya ; alam memberikan segalanya tanpa kehilangan apapun, manusia menginginkan segalanya lalu kehilangan banyak hal…

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini