AKU DAN ALTOPHOBIA

Sabtu, 07 Mei 2011

| | |

Hari ini (Jumat 06/05/11) badan masih merasa lelah. Maklum, dua hari sebelumnya kami mengadakan acara perpisahan di sekolah. Acara perpisahan dilaksanakan dengan jalan-jalan ke mifan. Dalam acara itu, aku adalah ketua panitia, dan aku pula yang agak bersikeras dengan usulan bahwa acara perpisahan adalah dengan jalan-jalan ke mifan, tidak ke tempat lain. Akhirnya usulan itu diterima dalam sebuah forum musyawarah, karena baik untuk semua.
Kawan, jangan bilang siapa-siapa, sesungguhnya usulanku untuk mengadakan acara jalan-jalan ke Mifan diselubungi kepentingan pribadi –agak mirip kebanyakan orang partai di DPR-. Ya, aku sudah lama merencanakan ini, yaitu membunuh altophobia yang menjangkitiku sejak lama, entah sejak kapan. Betul! aku adalah seseorang dengan penyakit takut ketinggian yang agak akut, dan  bagiku itu adalah hal yang sangat memalukan.

Dulu, menurut perhitungan dokter, seharusnya bayi kami sudah lahir dalam minggu ini, tapi hingga akhir pekan tidak satupun tanda-tanda ke arah sana. Aku cemas. Istriku memang telah rutin melaksanakan jalan kaki, tapi mungkin itu masih belum cukup. Maka sudah seharusnya aktivitas fisik untuk istriku di tingkatkan, agar kandungan mengalami konstraksi yang lebih kuat, dan si bayi segera terdorong keluar. Setelah merenung sesaat, aku menemukan tempat yang ku kira cukup baik untuk memancing konstraksi rahim yaitu jalur evakuasi tsunami di sebuah bukit di kotaku ; gunung pangilun.
Sudut daki lebih dari 45 derajat. Ketinggian sekitar tiga ratus meter lebih. Jumlah jenjang ke atas mungkin lebih dari lima ratus anak tangga.
Karena takut tinggi, pada saat mendaki ke atas, aku berusaha tak melihat ke bawah, sesekali melihat ke bawah, langsung lunglai lutut ini rasanya. Setelah setengah jam lebih, kami sampai di puncak, aku berdoa agar dengan aktivitas ini, bayi kami lahir segara. Amiin. (ternyata 7 hari kemudian, si bayi baru lahir ke dunia)
Bencana memalukan itu terjadi pada saat kami turun ke bawah.
Aku adalah lelaki, lelaki yang sehat, lelaki sejati. Seharusnya akulah yang membimbing istriku dalam perjalanan menuruni tangga, tapi altophobia telah menjadikan semuanya berantakan. Istriku yang tengah buncit besar-lah yang akhrinya membimbingku turun ke bawah, ia dengan sabar memandu langkahku satu persatu, menguat-nguatkan diriku agar lututku berhenti bergetar. Aku selamat sampai dibawah, agak pucat. Istriku memandang lucu ke arahku, dan kejadian ini benar-benar bencana besar terhadap sejarah kelaki-lakianku.  
Pertama flying fox, istri dan si kecil menyemangati dari bawah. Wow! Aku terpekik entah seperti apa ketika tergantung-gantung di ketinggian sambil melaju –walau sudah berusaha agar tak terpekik-, ditambah lagi dengan sensasi takut yang sangat ketika melihat kebawah. Sampai di seberang, lututku bergetar hebat, sampai-sampai petugas agak kesal melihatku yang bergerak sangat lambat. Oke! Misi pertama selesai, setidaknya aku sudah berani mencoba, mencoba menghadapi rasa takut, walau keadaannya demikian. Sejatinya aku harus mencoba lagi, tapi urung karena terlalu banyak orang yang juga berniat menaiki flying fox –mungkin mereka juga punya misi sama denganku-, ditambah petugas yang agak lamban.
Kedua, seluncuran air yang tinggi dan berbelok-belok, tingginya mungkin lewat 30 meter. Aku harus bertempur dengan bagian diriku yang lain  yang selalu mengatakan tidak dan tidak selama aku menaiki jenjang ke atas. kali ini aku berusaha kuat, walau masih butuh panduan, kali ini yang memanduku adalah seorang muridku yang berbadan kecil dan kurus, Bowo namannya.
…dan akupun mulai meluncur bersama yang lain…
Luncuran pertama, seperti berada di dunia lain. Adrenaline ku tak pernah terpicu seperti ini sebelumnya, efeknya jelas ; terpekik sambil mengucap-ngucap. Terlalu lama rasanya sampai ke bawah, dan yang ini lebih gila dari flying fox yang barusan ku coba. Walau aku sempat di tertawakan beberapa orang murid, aku senang, karena ketakutan yang sempat kurasakan tak membuatku tak berani untuk mencoba lagi. Hari itu, aku meluncur sebanyak lima kali, dan aku mulai menikmati sensasinya. Kenapa hanya lima kali? Bukan karena takut dan tak sanggup lagi, bahkan aku merasakan kecanduan, tapi lintasan luncuran yang berbelok-belok ekstrem membuat kepala agak pusing.
Barangkali perlawananku terhadap altopobia mulai menunjukkan hasil, aku tak gamang seperti dulu melihat kebawah, aku sudah lebih berani berada pada ketinggian (sekurang-kurangnya setinggi luncuran mifan), dan aku sudah mulai berani untuk merasakan tantangan yang selalu ditawarkan oleh ketinggian, yaitu meluncur cepat kebawah. Esok, entah kapan, aku harus mencoba budge jumping atau melayang bersama wahana paralayang dari Puncak Lawang. Tapi aku mulai khawatir, jikalau aku sudah terjangkiti rasa suka akan olahraga ekstrem, ah tapi itu tak penting. Aku harus menghilangkan altophobia, hingga benar-benar lenyap dan pergi.
Ternyata rasa takut bukan untuk dihindari, tapi dihadapi. Jika suatu saat engkau menghadapi rasa takut, engkau akan merasakan perubahan demi perubahan, hayati lah perubahan-perubuhan itu, dan menikmati perubahan adalah hal yang seru!   

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini