“DENGARKANLAH KAMI”

Senin, 07 Maret 2011

| | |
Bapak dan Ibu yang Terhormat
Sudah seminggu lebih berlalu dan ini telah terjadi beberapa kali, kami lihat kalian masih sibuk. Sibuk berpikir, memikirkan bahwa si anu sebaiknya dikeluarkan atau tidak. Sibuk menakar, sebaiknya si fulan dijadikan kawan atau tidak. Sibuk melobi, sebaiknya posisi itu untuk kami saja. Entah berapa banyak energy, pikiran, waktu dan juga uang untuk menyelesaikan itu semua. Entah berapa banyak. Entah sampai kapan.

Bapak Ibu yang Pintar
Maukah dan sempatkah kalian mendengar? Mendengarkan keluh kesah kami, kami yang di bawah sini, yaitu kami yang bekerja menggadai badan dan mengadu nyawa dari shubuh hingga gelap. Tidakkah Bapak Ibu merasa terganggu, jika tiba-tiba kami datang mengadu di saat-saat Bapak Ibu sibuk memikirkan segala sesuatu tentang untung rugi berkoalisi dan beroposisi.


Bapak Ibu yang Pintar
Kami merasa keadaan semakin aneh. Bagaimanapun juga, kebaradaan Bapak Ibu di atas sana karena suara kami. Ketika kami memberikan suara, hanya satu tujuan kami, kami percaya bahwa Bapak Ibu akan membuat kami sejahtra, menjadikan segala sesuatnya menjadi lebih wajar. Tapi lihatlah, untuk apa suara kami digunakan. Bapak Ibu saling tawar menawar, ancam-mengancam, tekan menekan, demi mendapatkan sesuatu, sementara itu kami tak mendapati harapan kami. Kami merasa terluka, kami merasa kecewa, kami menangis dan rupanya sudah kering air mata ini.

Bapak Ibu yang Pintar
Lihatlah bagaimana penyakit membuat kami menderita. Berobat kerumah sakit sama saja mendatangkan penyakit baru, sementara penyakit lama belum tentu hilang sama sekali. tidak ingatkah Bapak Ibu ketika seorang kakek kami harus menunggu di atas angkot yang panas untuk mendapatkan pegobatan. Tak tahukah Bapak Ibu bahwa seringkali saudara kami harus bekerja dengan wajah meringis menahan sakit, karena berobat hanya membuatnya akan semakin bangkrut? Yang kami herankan adalah disaat kami begitu takut untuk mengobati penyakit kami, masih ada saja orang yang bisa berobat jauh keluar negeri sana, sambil jalan-jalan juga shopping. Tidakkah itu merupakan ketimpangan yang nyata? Jawab, coba jawab kenapa ini bisa terjadi!

Bapak Ibu yang Pintar
Bukan main mahalnya harga-harga sekarang ini. Beras mahal tak menentu, bukankah negara kita ini adalah tempat terbaik dimana beras bisa tumbuh? Ikan pun begitu, kenapa begitu sulitnya kami menikmati protein ikan yang konon membuat orang Jepang sana cerdas tak tanggung-tanggung, bukankan negara kita negara laut? Kadang kami heran, emas tembaga, minyak dan gas yang berada di bawah kaki kami, seperti tak mampu menambal jalan-jalan berlubang, yang lubangnya telah ada sejak zaman Jepang. Lihatlah saudara Papua kami, mereka masih seperti dulu, walau ditengah pulau mereka ada lubang tambang super besar yang dikeruk duapuluh empat jam. Kemanakah pergi uangnya?

Bapak Ibu yang Pintar
Sejak dulu, seingat kami, terlalu sering kami dengar jargon-jargon bahwa korupsi dan penipuan adalah musuh kita bersama. Tapi lihat saja nyatanya, korupsi dan manipulasi yang katanya menjijikkan itu lumrah saja dilakukan orang-orang. Bahkan mereka yang melakukan itu banyak yang rutin ikut upacara bendera tiap Senen, fasih pancasila dan akrab dengan undang-undang, digaji pula pula setiap bulan dan gratis berobat kerumah sakit. Kami merasa, hukum negara takluk dengan mudah dihadapan uang, penjarapun begitu ramah dengan lembar rupiah. Jika sudah begitu musuh siapakah sesungguhnya korupsi yang manipulative itu?

Bapak Ibu yang Pintar
Tahukah kenapa saudara-saudara kami begitu sering terlibat konflik? Sekolah telah gagal mengajar kami. Pendidikan juga begitu mahal. Jika saja sekolah berhasil mendidik kami, maka niscaya kami kan lebih arif menyikapi masalah. Jangan maki kami lagi, jangan marahi kami lagi. Sekolah gagal mendidik kami. Sebaiknya Bapak Ibu perbaiki dulu sekolah-sekolah itu. Lihatlah disana, ada sekolah bertingkat sepuluh, lalu lihat pula disana, ada sekolah seperti kandang kambing, gurunya pun tak kuasa masuk mengajar. Kami tak arif karena kami tak menikmati pendidikan yang layak. Salahkah kata-kata kami ini?

Bapak Ibu yang Pintar
Lihatlah bocah dan remaja kami. Kemanakah perginya kearifan budaya timur dari diri mereka. Kemanakah perginya moralitas khas dunia timur dari jiwa mereka. Mereka bergaul bebas-sebebasnya. Aborsi dan obatan terlarang sudah biasa mereka dengar, karena banyak yang melakukannya. Mereka tak peduli lagi akan seorang nenek yang kesulitan menyebrang jalan dan tak segan lagi berolok-olok dihadapan guru dan orang tua. Lihat pulalah gaya mereka menghisap rokok. Kenapa bisa seperti itu? Jawablah Bapak Ibu, kalian lebih tahu. Kenapa kalian masih sibuk berdebat ini dan itu?

Bapak Ibu yang Pintar
Cukup sudah istilah-istilah itu, politik transaksional, reshuffle, presedensial, angket, setgab, oposisi, koalisi dan lain sebagainya. Pusing kami mendengarnya, walau Bapak Ibu mudah saja mengucapkannya. Kami tak butuh itu semua. Kami tak butuh debat dan pidato. Kami tak butuh retorika. Kami tak butuh kata-kata “demi kepentingan bangsa”. Sebaiknya kalian semua diam, lalu pikirkanlah kesejahtraan kami, pikirkan kesehatan kami, pikirkan rasa keadilan kami yang telah terluka parah, pikirkan juga pendidikan kami. Pikirkan itu semua! Jika saja kami mati, sementara harapan kami tak jua dipenuhi, kami kan kadukan kalian semua kepada Tuhan, lalu rasakan saja azab untuk kalian.

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini