"agaknya kita harus lebih sering jalan kaki"

Rabu, 09 Maret 2011

| | |
Kehidupan kita tak ubahnya bagai air yang selalu mengucur pada sebuah gelas. Awalnya air perlahan memenuhi gelas, walau sudah penuh, kucuran tak berhenti hingga akhirnya tumpah. Air lama terdesak keluar, posisinya digantikan air baru, begitulah seterusnya hingga dunia menemui kiamatnya. Kemunculan suatu hal kan selalu diikuti oleh tersingkirnya pemain-pemain lama. Segalanya kan terus berubah dan tak kan pernah berhenti untuk berubah. Tak salah kalau orang bilang bahwa sesuatu yang tetap dan tak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri, ia selalu ada seiring waktu berjalan.


Seorang kawan bernama Idris bercerita, bahwa kemarin ia rindu untuk melakukan cara lama menuju rumahnya yang dikampung, yaitu jalan kaki. Seharusnya Idris menikmati aktivitas jalan kakinya, yaitu bertemu sesama pejalan kaki, mendengar kata-kata “oi lah lamo ndak pulang, a kaba!”, lalu bertukar kabar dan berbagi cerita dengan siapapun sepanjang perjalanan, baik yang searah ataupun yang berlawanan arah. Namun yang terjadi kemudian adalah ia tak menemukan satupun orang berjalan kaki. Hilangkah kampungnya? Apakah orang satu kampung sepakat untuk sakit hingga tak bisa keluar rumah? Atau adakah pemberlakuan jam malam oleh Wali Nagari sejak jam tiga sore untuk meniru Mesir tempo hari? Bukan, bukan. Jalanan tetap ramai oleh orang-orang yang lalu lalang, hanyasaja mereka tak lagi jalan kaki, tapi naik sepeda motor, dimana kecepatannya membuat orang tak punya banyak waktu untuk lebih mengenal dan mengerti.

Kehilangan yang dialami Idris adalah kehilangan kita semua. Hal-hal baru zaman kini, tanpa disadari telah menggeser banyak hal dalam kehidupan kemanusiaa kita. Aku masih ingat benar, bagaimana kita dahulu, ketika masih kanak-kanak, mengisi waktu dengan bermain. Duduk-duduk di bawah pohon jambu, melempar buah-buah ranum yang tergantung di dahan pohon, menceburkan diri kedalam lubuk, berayun pada dahan-dahan pohon-pohon rendah, berpacu dengan sepeda angin, merangkai sendiri mainan dari kayu, betung atau sandal karet, membuat tempat bersembunyi di tengah semak, menangkap serangga-serangga dan sesekali mencoba menjerat burung murai. Kemanakah dunia barmain seperti itu sekarang? Sebagian besar kanak-kanak telah terperangkap dalam dunia permainan computer yang membuat mereka menjadi individualistis, jauh dari pohon dan daun, tak kenal sungai dan laut, dan membuat mereka tak punya lagi “rasa” dalam bersikap dan berkata.

Rupanya hal seperti inilah yang dicemaskan orang-orang tua dahulu, bahwa anak muda tak lagi punya kearifan seperti yang diajarkan kepada mereka dahulu. “Dasar anak zaman sekarang!” begitulah keluhan tak berdaya mereka yang sering diucapkan sambil mengurut dada. Seperinya kita-kita ini juga akan sering mengucapkan kata-kata itu kepada kanak-kanak dan para remaja kita. Bedanya antara kita dan orang tua yang mengeluhkan kita dahulu adalah, kita akan mengucapkan keluhan khas tersebut pada umur yang lebih muda dibandingkan dengan umur ketika mereka -para orang tua dahulu- mengucapkan keluhan yang sama. Dunia sekarang berubah lebih cepat, bahkan sangat cepat.

Sesungguhnya bukan kemajuan teknologi yang disesalkan, tetapi adalah ketidak arifan manusia dalam menyikapi kemajuan tersebut. Tanpa sadar, sisi-sisi kemanusiaan kita telah terenggut oleh teknologi yang kita buat sendiri. Lihat saja, kadangkala kita sibuk dengan aneka gadget, chatting melalui handphone pintar dengan seseorang yang kita kenal didunia maya, padahal tepat disamping, ada seseorang yang tengah duduk dan menunggu untuk diajak ngobrol dan berbagi. Aku mulai curiga bahwa kita lebih suka menciptakan kesunyian untuk diri sendiri dengan mengharap hiburan dari perangkat-perangkat canggih ketimbang menghibur diri dengan bertemu orang-orang dan mendengar kisah-kisah mereka. Tak heran, kalau di zaman ini, untuk mendapatkan sejumput motivasi-pun harus membayar sangat mahal. Padahal dulu, hal tersebut dengan mudah didapat di surau-surau dimana ada orang tua bijak yang menunggu untuk ditanya-tanya tentang bagaimana seharusnya hidup, gratis hingga larut malam asal ada segelas kopi dan sepiring kecil goreng ubi untuk dinikmati bersama.

Jika khawatir akan kemanusiaan kita yang terus tergerus dan longsor, agaknya kita harus lebih sering jalan kaki, pergi keluar dan bertemu orang-orang, dan kembalikan kanak-kanak ke alam hijau dimana mereka dapat bermain kreativ dan mengenal baik lingkungan mereka. Sanggupkah?

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini