“Izrail sama seperti Malik dan persis seperti Ridwan…”

Rabu, 16 Februari 2011

| | |

Satu malam seorang kawan pulang terlambat hingga larut. Di tengah jalan menjelang masuk kawasan komplek ia bersua dengan sekolompok anak kecil yang tengah bermain kelereng. Awalnya ia heran bahwa dalam keadaan sudah lewat tengah malam, anak siapa yang masih main kelereng. Tapi karena lelah dan ingin segara sampai, ia tidak menghiraukannya sama sekali. Besoknya kami duduk bersama, cerita kesana kemari. Karena kebetulan ada Pak RT. Sang kawan menceritakan perkara anak kecil bermain kelereng tengah malam, anak-anak siapakah itu. Pak RT terkejut mendengarnya, kemudian menjelaskan bahwa apa yang di alami sang kawan tadi malam itu sesuai dengan cerita-cerita penduduk asli bahwa di tengah jalan menjelang masuk komplek memang sering terlihat sekelompok anak bermain kelereng di tengah malam. “Mungkin mereka itu Hantu” kata Pak RT. 

Sejak itu, kawanku itu takut pulang larut.


Dahulu, sepeda motorku pernah mati pajak. Walau begitu, aku beranikan untuk mengendarai motor kemana-mana. Sebuah aktivitas melanggar undang-undang negara yang tak pantas untuk ditiru. Apa akibatnya? Jika bertemu dengan gerombolan polisi yang tengah razia kendaraan, langsung balik kanan lalu lari menuju jalan-jalan tikus, ngeri rasanya terbirit-birit seperti itu, padahal si polisi sama sekali tak mengejar kecuali hanya menatap kesal. Jika melihat polisi tengah menjaga pos lalu lintas, dada ini selalu berdesir deg-degan, sama berdesirnya ketika dahulu ketahuan melakukan sebuah kesalahan berat ketika belajar di Pondok. Tak kuat dengan peristiwa dada berdesir setap bertemu polisi lalu lintas, aku putuskan untuk mengambil jalan memutar, tujuan adalah agar tak melewati pos polisi lalu lintas. Itu kulakukan hampir setiap hari. Benar-benar bodoh.
***
Ketakakutan –sejauh yang kupahami- ternyata terletak pada persepesi, terletak di otak. Anak yang bermain kelereng tengah malam buta, pada awalnya tidaklah menakutkan, hanya mengherankan. Semenjak Pak RT mengatakan bahwa mereka itu adalah anak-anak dedemit, sebangsa dengan pocong-pocongan, maka muncullah ketakutan itu. Tayangan-tayangan horror di tv juga telah berhasil menyuburkan rasa takut itu.
Sementara itu, anggota polisi lalu lintas bukanlah bangsa dedemit, manusia biasa, yang setiap hari juga butuh WC untuk menyalurkan hasrat buang air. Kenapakah aku takut dengan mereka yang nyata-nyata sama dengan diriku? Karena aku bersalah dan mereka adalah orang yang paling berhak menelanjangi kesalahanku. Takut karena salah. Ini semua adalah masalah persepsi, bahwa rasa takut –seperti juga rasa-rasa lainnya- terletak disini, di kepala ini.
***
Oleh guru mengaji, ridwan digambarkan sebagai malaikat yang ganteng dan gagah, menyenangkan wajahnya dan sejuk senyumnya ketika menyambut para hamba di pintu-pintu surga. Sebaliknya Malik, adalah malaikat bertampang ganas, seperti wajah brewokan bermata merah melotot layaknya wajah perompak gila di laut merah. Menyeringai tak ramah dan berlaku kasar pada saat orang-orang berdosa didesak untuk terjun bebas ke dalam neraka.

Benarkah demikian? Inilah yang terpikir ketika bermenung-menung tadi malam di halaman rumah.
Entahlah. Namun jika bertitik tolak dari “persepsi” sebagaimana yang kubahas-bahas tadi, maka Malik persis seperti Ridwan, dimana mereka berdua adalah hamba Allah yang diciptakan dari cahaya. Orang-orang berdosa di akhirat kelak dihukum oleh rasa bersalah yang begitu besar, jangankan bersua dengan Malik, menghadap Allah di pengadilan akhirat-pun –jika masih bisa untuk pipis- niscaya mereka pasti akan terkencing-kencing. Takut menghadap Allah. Ironis memang keadaan orang-orang berdosa seperti itu. Takut menghadap Allah, hal yang bagi orang-orang beriman adalah sebuah kenikmatan tertinggi. Gejala ketakutan mereka persis seperti gejala ketakutanku terhadap polisi, yaitu karena rasa bersalah.

Begitu pula halnya dengan persitiwa kematian. Sesungguhnya kematian itu bebas nilai, bahwa kematian itu adalah peristiwa biasa dimana berpindahnya roh ke alam barzakh. Sebagai konsekwensi akan cara hidup di dunia, maka manusia punya dua persepsi akan kematian. Orang-orang baik akan memandang peristiwa kematian sebagai persistiwa yang indah, dimana segera mereka akan merasakan sambutan Tuhan dan para malaikat, sebuah kegaiban yang mustahil dialami di dunia. Jadi, nilai sebuah kematian adalah keindahan. Sementara itu, nilai kematian bagi orang bersalah adalah ketakutan, bahwa peristiwa itu berarti akhir dari kisah hedon dan petualangan dosa mereka di dunia dan awal dari penderitaan yang hebat. Bagi orang-orang berdosa, Izrail menjadi begitu horror. Padahal Izrail sama seperti Malik dan persis seperti Ridwan…

0 komentar:

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini