Tuhan telah menciptakan kehidupan seperti rumah, dimana di dalamnya ada banyak ruang, tapi tak satu ruanganpun disediakan untuk orang-orang yang sombong.
Bagi seorang butapun, terdapat banyak ruang peran dimana ia bisa berkiprah dengan keterbatasan yang ia miliki, tukang pijat, misalnya. Sebuah pepatah Minangkabau mengatakan bahwa orang buta sekalipun tetap punya peran dalam kehidupan, “minimal” menjadi peniup api di tungku pembakaran, dimana kendala terbesar adalah perihnya mata karena asap, maka yang buta dianggap tak akan merasakan perih di mata. Bahkan kenyataan menunjukkan bahwa saudara-saudara kita yang buta, dengan gagah berani menaklukan seluruh tantangan sehingga sampai pada sebuah pencapaian dimana tak banyak orang yang mencapainya, bahkan oleh orang normal sekalipun. Banyak di antara mereka yang menolak menjadi tukang pijat dan peniup tungku atau peran-peran minimal lainnya. Mereka memilih untuk belajar dan kuliah layaknya orang normal, bahkan sampai ke luar negeri sana, lalu memilih untuk menjadi seperti apa yang mereka inginkan. Luar biasa dan angkat topi banyak-banyak buat mereka.
Orang tuli? Tetap ada ruang peran buat mereka. Kembali lagi ke pepatah lama Minangkabu, bahwa peran minimal yang dapat di ambil oleh orang tuli adalah sebagai “palatuih badia” yaitu semacam orang yang ditugaskan untuk menembakkan senjata api yang bunyinya minta ampun itu. Mau yang lebih dari sekedar palatuih badia? Lihatlah Beethoven, sebagian karya terbaik yang ia lahirkan, bermunculan di saat ia tak bisa lagi mendengar. Apalagi pada masa sekarang, teknologi telah membangun banyak ruang baru dimana saudara-saudara kita yang tuli atau buta bisa berkiprah lebih baik, tentu saja jika ia mau. Tuhan sesungguhnya tak menyia-nyiakan mereka, karena walau tak diberi pendengaran ataupun penglihatan, Tuhan tetap memberi semangat dan keinginan.
Orang bodoh? Setidaknya mereka dapat disuruh-suruh. Aku ingat benar, di kampus tempatku kuliah dulu, ada seseorang tua yang terbelakang secara mental, namun ia tetap memberikan manfaat pada lingkungan kampus. Kadang ia mencuci mobil kampus, kadang membersihkan rumput dan kadang memunguti sampah. Jika tidak sedang berkerja ia hanya duduk-duduk saja sambil bercanda dengan para mahasiswa. Walau punya taraf berpikir dibawah normal, keinginannya untuk berguna telah menjadikan ia sebagai orang yang berguna di lingkungannya.
Sementara itu, orang-orang sombong walaupun menempati ruang dan memainkan peran, cepat atau lambat, pasti akan tersingkir dari ruang yang ia tempati dan peran yang tengah ia mainkan. Jika kaya, orang akan bilang ; “kaya sendirilah ia, tak hendak orang minta bantuan kepadanya”. Jika ia cerdik dan pintar, orang akan berkata “pintarlah sesuka-suka dia, tak hendak orang akan bertanya minta petunjuk kepadanya”. Jika sudah begitu maka tak salah jika berkesimpulan bahwa tak ada ruang bagi orang yang sombong, jikalaupun ada, maka segera ia akan terlempar dari ruangannya itu karena tak seorangpun di dunia ini yang merasa nyaman berada dekat-dekat dengan orang yang sombong, bahkan si sombong sekalipun!
Seorang profesor di tengah kuliah bercerita ; “ pada awal sebuah semester, saya masuk kedalam sebuah kelas, kelas calon doktor. Setelah saya amati seluruh mahasiswa ternyata salah seorang mahasiswa saya adalah dosen saya ketika masih kuliah S1 dulu. Bagaimanapun juga, walau dulu ia dosen, sekarang ini ia harus menempatkan diri sebagai mahasiswa saya. Dari situ saya belajar bahwa seorang guru tak boleh sedikitpun merasa tinggi hati atas murid-muridnya karena suatu saat boleh jadi sang murid yang akan mengajarinya”. Sang professor diam sebentar, lalu ia melanjutkan kata-katanya “saya pun walau sudah professor, juga tak bisa tinggi hati walau secara akademis anda semua tak punya peluang untuk mengajari saya, akan tetapi suatu saat saya pasti akan mengharapkan bimbingan seseorang, yang mungkin seseorang itu adalah anda…”
Kami bertanya “bimbingan apakah yang mungkin akan kami berikan kepada Bapak?” dengan ringan sang professor menjawab “bimbingan membaca lafaz tauhid pada saat sedang sekarat…”
Apakah itu kesombongan?, Nabi menjawab “tidak menerima kebenaran (karena merasa pintar) dan meremehkan orang lain (karena tinggi hati merasa lebih baik)”
0 komentar:
Posting Komentar
silahkan komentari tulisan ini