“Pergi Jauh Untuk Kembali Pulang”

Senin, 10 Januari 2011

| | |
Aku sungguh terpana melihat sosok lelaki dewasa di depanku. Pandangan kusisirkan pada sosok tubuhnya, hasilnya adalah aku menjadi benar-benar yakin bahwa ia adalah kawan lamaku. Terus terang, kali terkahir ku melihatnya, sosoknya hanyalah seorang remaja. Wajar sebenarnya bahwa sosok didepanku ini telah berubah menjadi seorang lelaki dewasa, maklum, terakhir kali ku bertemu dengannya adalah delapan tahun lampau. Delapan tahun terasa tak lama jika telah dilalui, ia hanyalah bagai tirai yang sesaat menutup pandanganku dari kawan remajaku, ketika tirai itu tersibak, sang kawan tiba-tiba berubah menjadi dewasa. Seperti sulap saja. Aku dibuat terpana. Ia pun begitu. Begitulah sensasi bersua dengan kawan lama dimana tanpa kita sadari waktu telah merubah segalanya.


Kawan, izinkanlah aku meyebut moment perjumpaan seperti ini dengan istilah moment of magic, dimana perjumpaan diawali dengan keterpanaan, saling menatap dalam tawa dan kata tertahan. Detik berikutnya yang ada adalah hamburan kata-kata, tawa dan pelukan persahabatan. Pertemanan yang terpisah waktu telah menuntaskan kerinduan, dimana kerinduan pecah berbumbu kejutan. Alampun tersenyum menyaksikan lakon dua kawan lama yang terbenam dalam kikuk dan pana. Moment of magic…

###

Adi, anggaplah itu nama kawan lamaku itu. Pernah sama-sama sekolah di pesantren, ia adik kelasku, ia memangilku abang. Setelah cerita kesana kemari, Adi mulai mengeluhkan keadaannya sekarang bahwa ia telah menghabiskan banyak waktunya berada di lingkungan yang salah, lingkungan dimana aku dan dia bertemu untuk pertama kalinya setelah delapan tahun. Kuamati lingkungkan ini, memang menyedihkan. Kedai tempat kami duduk adalah pusat dari segala hura-hura dan tempat yang sempurna untuk menghabiskan penghasilan dalam waktu singkat. Adi bercerita bahwa ia rata-rata dapat uang dua ratus ribu perhari dari jam lima subuh hingga jam delapan pagi, hasil dari menjemput hasil laut dari kapal-kapal penangkap ikan yang parkir ditengah laut lalu mengantarkannya ke pasar di tepi pantai. Begitu seluruh pekerjaannya selesai, kedai tempat kami duduk akan menyedot hampir seluruh uangnya dalam satu hari, ia tak berdaya. Dari gayanya bercerita, aku yakin bahwa hati kecilnya yang sempat menikmati syahdu pengajaran agama selalu protes dengan keadaan itu. Hanyasaja ia bingung tentang apa yang harus dilakukannya. Aku hanya memberi sebuah nasehat standar ;“kembalilah shalat…”.

Seperti Adi, Seperti itu jugalah Har, kawan lama seangkatan dengan Adi. Aku bersua dengannya secara tak sengaja beberapa minggu kemudian, tentu saja dalam sensasi moment of magic. Dari cerita Har, ia punya situasi yang kurang lebih mirip dengan si Adi. Punya penghasilan harian yang besar, namun lingkungan telah sukses membuatnya menjadi manusia hura-hura. Lenyaplah uangnya itu setiap hari bagai abu yang diatas tunggul yang ditiup angin kencang. “Hanya modal yang bisa saya jaga bang, keuntungan bisnis saya habiskan untuk hura-hura…”. Tapi itu dulu, rupanya beberapa bulan yang lampau Har memutuskan untuk pergi jauh dari lingkungan lamanya, “sekarang saya bekerja menjadi anak buah orang, penghasilan lebih kecil dari bisnis yang saya jalankan dulu, tapi biarlah, hati lebih tenang…”. Lalu Har melanjutkan ceritanya bahwa ia akan kembali berbisnis sendiri, jika ia merasa telah siap, “untuk sementara biarlah begini dulu…”. Dalam hati aku berpikir, “ada-ada saja cara orang menempa diri sendiri…”

Besoknya kutelpon Adi, kupikir cara Har menyelesaikan masalahnya bisa menjadi referensi yang bagus untuknya. Diluar dugaan Adi bercerita, bahwa ia telah memutuskan pergi jauh, bekerja di sebuah perkebunan terpencil, dan akan berangkat esok harinya. Beberapa hari kemudian, Adi menelponku bahwa ia telah mulai bekerja, tinggal menumpang disebuah keluarga baik yang bertempat tinggal disamping masjid. Aku terharu.

###

Manusia adalah bagian dari lingkungannya, demikianlah Edward Lorenz bertoeri dalam Being Happy. Jauh sebelum si Lorenz berteori demikian, Baginda Nabi pun telah mewanti-wanti bahwa seorang anak yang suci bisa menjadi apa saja tergantung lingkungan dimana ia hidup. Sangat masuk akal memang, bahwa karakter manusia dipengaruhi oleh lingkungan dimana ia tinggal.

Har, juga Adi adalah dua contoh anak manusia yang tak berdaya atas lingkungan yang sama sekali ditolak oleh hati nurani mereka. Namun mereka membuat keputusan besar, meninggalkan lingkungannya, pergi jauh sekali, agar tak berhubungan lagi dengan orang-orang yang masih betah dengan lingkungan buruk tersebut, walau untuk itu mereka rela untuk memperoleh materi yang lebih sedikit. Satu pelajaran telah dipesankan oleh dua kawan lamaku ini ; jika engkau tak berdaya atas lingkunganmu, pergilah jauh-jauh, tinggalkan yang lama, daripada dirimu terus menerus membusuk dan karakatan disana!.

Sementara disisi lain, lakon kehidupan mereka menunjukkan bahwa pendidikan agama yang ditanam pada masa kecil dan remaja sangatlah penting. Adi dan Har adalah dua tipe manusia yang salah jalan, namun mereka segera sadar bahwa mereka telah salah, dan yang paling penting, mereka tahu kemana mereka harus kembali. Bukankah banyak orang diluar sana yang tak tahu kemana mereka harus pulang?


sumber gambar : todyphotography.blogspot.com

1 komentar:

Heru Perdana mengatakan...

ternyata linkungan sangat berperan dalam membentuk sebuah kebiasaan dan kepribadian,..
dan untuk berubah dari kebiasaan itu terkadang juga harus membutuhkan pengorbanan yang besar.
"pergi untuk kembali", sebuah bacaan yang menggugah,...

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini