Si Dian (Sastro) senyum-senyum sambil menggeraikan rambut hitamnya yang mengkilat-kilat. Di dekatnya amai-amai tengah berteriak-teriak serak untuk mempromosikan sayur jualan mereka. Jika mendegar teriakan mereka, meliat wajah mereka, melihat gesture tubuh mereka, amai-amai tersebut sangatlah lelah, mungkin mereka merasa bahwa mereka tak diurus pemerintah, sampai-sampai harus jualan sayur bukan pada tempat yang layak dan wajar. Mungkin juga mereka lelah untuk mengakali agar keuntungan jual sayur yang tipis itu dapat digunakan untuk membeli beras yang harganya lebih tinggi dari pohon kelapa berumur lima puluh tahun. Sementara itu, si Dian masih saja senyum-senyum manis sambil menggeraikan rambut hitamnya yang mengkilat. Iklan produk shampoo bergambar si Dian itu, tepat menghadap ke hidung para amai-amai. Masih ingatkah amai-amai membeli shampoo jualan si Dian? Entahlah, hanya amai-amai dan Tuhan sajalah yang tahu.
Amai-amai dan Dian sama-sama wanita, sama-sama punya rambut hitam. Bedanya, amai-amai dipaksa tua dan mengkerut oleh keadaan, sementara si Dian dibayar dengan unggukan uang bewarna merah hanya dengan modal rambut panjang dan senyum manis. Mengenai perkara ini, jangan heran benar, bahwa di zaman ini ada orang yang punya penghasilan sangat tinggi dengan mudah dan juga ada orang (sangat banyak) yang harus menggadai tali napas untuk bisa makan nasi, itu sudah biasa. Entah bagaimana itu bisa terjadi, entahlah. Mungkin keadaan inilah yang disebut tokoh-tokoh agama tempo hari sebagai hasil dari kebohongan pemerintah.
Tenang saja, aku bukan bermaksud menyalahkan orang yang berpenghasilan tinggi, hanya saja heran dengan keadaan demikian. Tidak bisakah seseorang di luar sana mencari cara agar segala sesuatunya berlangsung wajar, tak berlebihan dan tak terlalu kontras?
Tak jauh dari amai-amai dan Dian, ada pula bemo tua yaitu sebuah kendaraan angkut beroda tiga produksi Jepang tahun enam-puluhan, biru warnanya. Tepat di samping si Bemo terpakir Jazz yang baru dan ganteng. Beda Jazz, beda pula Si Tua bangka Bemo reot. Jazz itu harganya ratusan juta, mesinnya nyaris tak terdengar, didalamnya empuk wangi dan be-ac. Bemo, aku pribadi enggan memilikinya walau dikasih gratis oleh pengemudinya yang juga tua, bunyinya heboh dan terkentut-kentut, kursi-kursinya kasar dan tak bersahabat. Jika Jazz bernuansa ratusan juta, maka bemo indentik dengan penghasilan ribuan, hanya untuk lepas makan, tak bisa untuk beli obat demam, atau beli buku catatan dan sebatang pensil, apalagi untuk pergi jalan-jalan ke Bukittinggi yang berjarak 80 km dengan jalan naik turun khas pegunungan. Walau begitu, harga bahan bakar antara keduanya sama persis, tak kurang tak lebih (disini belum jalan kebijakan tentang BBM yang baru itu). Justru kesamaan satu-satunya inilah yang menegaskan bahwa negeri kita penuh dengan ironi, sangat penuh, bahkan melimpah-limpah, sampai sulit mengemasinya.
Itulah sedikit cerita tentang kemiskinan dan ironi-ironi yang menyertainya…
Keluar dari kemiskinan adalah ide yang baik dan brilian. Betapa banyak kawan-kawan yang punya ambisi itu, tapi jalan yang dibuat pemerintah untuk keluar terasa amat sangat sempit. Baru saja si Badu yang anak becak itu bersemangat untuk belajar, eh sang bapak terjatuh dari becak, robek tangannya, pergi kerumah sakit, untuk biaya jahit khatam uang seratus ribu, terpakailah biaya sekolah si Badu. Esoknya si Badu kembali bermenung-menung di pematang sawah. Kapankah orang-orang seperti si Badu berkesempatan menempuh pendidikan setinggi-tingginya agar otaknya lebih kreatif mencari jalan keluar dari kubangan kemiskinan.
Alhasil, cara terbaik untuk memecahkan masalah kemiskinan adalah berusaha sekuat tenaga untuk tidak menjadi miskin. Kalau bisa jadi kaya, lalu membantu orang-orang miskin untuk sekolah. Sederhana bukan? Setuju nggak?
1 komentar:
setuju,..
Tapi analoginya agak jauh dengan peasan yang mau disampaikan,...
terkesan, pengantarnya mengalahkan pesan yang akan disampaikan,..
Posting Komentar
silahkan komentari tulisan ini