Anak yang tengah belajar berbahasa selalu menunjukkan perkembangan yang bahkan tak terbayangkan oleh kita sebelumnya. Pada awalnya hanya satu kata yang bisa diucapkan, kemudian meningkat menjadi dua hinga tiga dan empat kata dan seterusnya. Pertama hanya kalimat nomina, lalu esoknya kalimat verba, lalu kalimat lengkap dengan struktur SPOK. Itu semua terjadi seolah begitu saja, melampui apa yang pernah diajarkan. Kadang-kadang bahkan sering, si kecil tiba-tiba mengucapkan sebuah kalimat baru yang belum pernah diajarkan secara langsung, dan itu sangat mencengangkan.
Ternyata dalam persitiwa perolehan bahasa ini, seorang anak tidak hanya belajar dari orang tuanya, tapi dari seluruh mulut orang dewasa yang tengah berbicara sejauh yang dapat ia dengar. Dari peristiwa ini, kita semakin diyakinkan bahwa seorang anak belajar dengan mencontoh orang dewasa sekilingnya.
***
Siang itu karena sebuah keperluan terpaksa aku duduk lama di depan sebuah kios fotokopi. Kebetulan bertepatan dengan jam pulang sekolah, maka remaja-remaja siswa SMP cukup banyak disekitarku. Kali ini pengamatanku terpusat kepada sebuah kelompok remaja laki-laki, dari besar tubuh mereka, dapat kupastikan bahwa mereka barulah duduk di tahun pertama.
Selain besar tubuh mereka yang belum seberapa, mereka tak lagi layak disebut bocah-bocah tak berdosa. Dengan gaya layaknya orang dewasa, mereka dengan nikmat menghisap rokok, lalu mengepulkan asapnya dengan berbagai gaya. Aktivitas merokok mereka selingi dengan pembicaraan-pembicaraan yang seharusnya tak mereka bicarakan, sekali-kali memprovokasi teman-teman mereka yang kebetulan berada di bis kota yang tengah lewat. Mungkin sedang belajar tawuran.
Tak lama, salah satu dari mereka mulai berjalan ke arah kelompok lain yang kali ini adalah teman-teman perempuan mereka. Teman-temannya sekolompok memandang ia seperti seorang jagoan. Entah apa yang mereka rencanakan sebelumnya. Si jagoan berjalan percaya diri, sambil berjalan dihisaplah rokok sedalam mungkin –pasti paru-paru kecilnya demikian tersiksa-, lalu tiba-tiba mulutnya sudah tepat berada di depan wajah teman perempuan, sejurus, disemburkanlah asap rokok ke wajah teman perempuannya itu. Wow, seperti adegan di sinetron dimana seorang pria murahan menggoda wanita yang juga murahan!. Detik demi detik kejadian itu ku amati dengan seksama. Apakah reaksi si teman perempuan. Ia mengibaskan asap rokok yang mengelayuti mukanya. Apakah ia akan ngamuk?. Ternyata tidak. Si perempuan kecil hanya menggerutu kecil, menggerutu tak berarti, sambil batuk-batuk, lalu tertawa, yang lain juga tertawa. Si perempuan kecil tak merasa sedikitpun bahwa harga dirinya sebagai seorang perempuan baru saja di kangkangi oleh seorang bocah tengik yang sok-sok. Si jagoan kembali ke kelompoknya dengan dagu terangkat dan hidung kembang kempis, kawan yang lain menunjukkan wajah salut.
Salah satu scene “film” langsung tingkah perangai anak SMP usai. Scene berikutnya lebih menarik. Oleh karena itu duduklah dengan manis, mari simak ceritaku…
Kelompok perempuan sudah melupakan peristiwa hembusan asap rokok ala sinetron tadi. Kali ini mereka kembali dengan obrolan mereka, entah apa yang mereka obrolankan. Mereka telah melupakan kejadian tadi, karena mereka menganggap kejadian itu adalah kejadian biasa yang tak perlu didiskusikan panjang lebar.
Sementara itu, kelompok bocah laki-laki tadi tampak mulai merencanakan sesuatu. Entah apa yang mereka rencanakan, aktivitas “menghembusan asap rokok di wajah gadis” tak mungkin lagi mereka lakukan lagi karena rokok mereka telah habis. Jreng! Kali ini salah seorang mulai mendekat kelompok teman wanitanya. Ia akan melakukan sesuatu tapi entah apa. Detik demi detik peristiwa itu kembali kuamati lekat-lekat. Rasanya melihat peristiwa itu seperti gerakan slow motion dalam film-film Holywood. Si jagoan hanya tinggal dua langkah lagi ke arah kelompok teman perempuannya yang tengah asyik ngobrol. Inilah yang akhirnya terjadi, tangan si jagoan mengarah ke bagian tubuh seorang gadis yang tengah lengah, bagian tubuh itu adalah bagian samping tubuh yang tepat bebeberapa centi di bawah ketiak. Kawan, anak itu mencolek kawan perempuannya!. Si gadis terpekik, namun yang terjadi selanjurnya sama seperti tadi, hanya menggerutu kecil, menggerutu tak berarti, lagi-lagi merasa tak dilecehkan. Semua mereka, laki-laki dan perempuan tertawa saja.
Tak tahan melihatnya, ku tegur si bujang gata itu. Apakah jawabannya atas teguranku? Yang jelas jawabannya yang diberikan membuatku tak bisa berkata apa-apa lagi. “Biasa itu Da!”.
***
Sungguh telah terjadi kerusakan moral luar biasa pada anak-anak dan remaja-remaja kita. Seperti yang kubilang tadi, mereka itu belajar dengan mencontoh orang dewasa disekelilingnya. Bahwa si anak merokok, bahwa si anak melecehkan teman perempuannya, bahwa si gadis tak merasakan harga dirinya telah dilecehkan, itu semua -diakui atau tidak- mereka dapatkan dari contoh yang kita berikan. Sudah sebegitu parahkan moral kita hingga anak-anak menjadi seperti itu? Kepada siapakah harus marah, apakah harus kepada produser sinetron-kah, atau kepada atris sinetron-kah, atau kepada bintang iklan atau film kah, kepada penyanyikah atau diri kita sendirikah yang harus dimarahi? Entahlah, semuanya sudah berbelit berkelindan, bercampur baur tak jelas.
Dahulu kala seorang guru berkata : bahwa banyak orang dewasa mampu memberikan qudwah hasanah (pelajaran yang baik) itu adalah biasa. Namun berapa banyakkah yang mampu memberikan uswah hasanah (teladan yang baik)?
2 komentar:
aih..... anak zaman sekarang memang luar biasa (kurang ajarnya). kawan, fenomena spt itu tdk hanya terjadi di Sana, tp dmn2 kt bs menemukan fenomena yg sama, tidak di kota bahkan di pelosok desa sekalipun. apa penyebabnya???? ada beribu sebab bs kt jdikan jwbannya dan salah satu dari seribu itu adalah ketidak mampuan para dewasa menjadi contoh baik bagi remajanya. walhasil..... para remaja itu pun berusaha belajar dari bahasa kebiasaan yang sering dipertontonkan oleh para dewasanya......
setuju benar dengan pak dosen
Posting Komentar
silahkan komentari tulisan ini