“Antara Tuhan nan Maha Kuasa, Tukang ojek, Aku dan Ampek Ribu Luruih”

Kamis, 16 Desember 2010

| | |
Senja itu adalah sebuah senja yang sangat biasa, persis seperti senja-senja sebelumnya. Rutinitas kehidupan berjalan sewajarnya, tidak ada kejadian mencolok yang membuat rutinitas biasa itu sedikit terguncang dan berhenti sesaat. Pengamen buta yang duduk saban hari di depan minimarket itu masih saja menyanyikan dengan seruling senandung lagu minang klasik yang sama setiap harinya, seruling itu masih saja ditiup dengan hidung, persis seperti hari-hari sebelumnya. Minimarket itu, juga masih seperti hari sebelumnya, dipenuhi oleh orang-orang untuk berbelanja. Di pintu masuk juga masih terpampang tulisan yang sama dengan hari-hari sebelumnya “kami berkomitmen untuk menyediakan harga lebih murah”, setelah ku hitung lagi di rumah, memang lebih murah rupanya. Pasti antara pemilik minimarket dan distributor telah menjalin kesepakatan bisnis aneh yang tak mudah di mengerti orang awam. Sementara aku, walau tidak setiap hari, kembali menjalankan salah satu rutinitas biasa, mengantarkan istri membeli susu untuk si kecil.

Dari keseluruhan hal biasa yang terjadi senja itu, rupanya terjadi juga hal yang tidak biasa, walau hanya aku sendiri yang mengalaminya, setidaknya cukup memberiku pengalaman baru nan unik yang bisa menyegarkan otakku yang biasa-biasa ini. Pengalaman yang tak biasa pada sebuah senja yang biasa itu mengajarkanku bagaimana Tuhan mengatur skenario rezeki seseorang, seseorang yang tak kukenal sama sekali –walau dalam skenario Tuhan yang Maha Pintar itu, aku berposisi bagaikan orang bodoh yang malang-.

Begini ceritanya…

Selagi menunggu istri keluar dari minimarket, sepeda motor tak kumatikan mesinnya, ku biarkan hidup, maklum ku malas kalau harus menghidupkan motor yang mengalami kerusakan accu ini dengan kick starter. Setelah istri selesai berbelanja, baru saja berjalan, bahan bakar tiba-tiba habis, ini gara-gara indikatornya bahan bakarnya tak berfungsi, sehingga tak bisa diketahui secara pasti berapa banyak bahan bakar yang tertinggal. Ah… jikalau aku seorang pilot, sudah jatuhlah pesawat malangku ini ku rimba belantara, mati semua penumpang termasuk diriku. Celakanya, ku tak membawa dompet, sementara istriku telah menghabiskan dana yang dibawanya ke supermarket untuk membeli berbagai macam kebutuhan, hanya tersisa empat ribu rupiah, terdiri dari dua helai uang dua ribu, tak kurang tak lebih, bahasa Minangnya : ampek ribu luruih –luruih = lurus alias tak bercabang-. Sedangkan bahan bakar bersubsidi yang selalu memusingkan pemerintah itu dijual oleh penjual minyak tak berlisensi seharga lima ribu rupiah. Itu artinya, untuk menerbangkan pesawat ini, eh sepeda motor, aku mengalami defisit anggaran sebesar seribu rupiah. “Defisit anggaran”… sudah lama benar aku menunggu menggunakan idiom ini dalam catatan-catatan kecilku…

Kebetulan di seberang jalan terdapat sebuah apotik yang dimiliki oleh seorang tetangga. Aku minta pendapat kepada istri bagaimana kalau kita mengajukan permohonan utang sebesar seribu rupiah disana. Istriku menolak, segan, hari hampir magrib, jemput saja uang kerumah pakai ojek, demikian katanya. Ongkos ojek pulang pergi empat ribu rupiah. Dasar tak efektif! Gerutuku dalam hati. Anehnya, itu hanya di dalam hati, tak terpikir olehku untuk mengungkapkannya. Ah, bodohnya diriku ini, percuma saja tamat S2!
Dalam aktivitas mencari tukang ojek, lewatlah seorang kawan akrab dengan pesawat, eh motor, kesayangannya. Ia menyapaku dengan senyum tawa, lalu bertanya, mana sepeda motor?. Kujawab bahwa sepeda motor ku parkir di depan minimarket. Kenapa tak dibawa?. Kujawab kalau aku ada sedikit keperluan. Lalu temanku itu berlalu, sebelumnya ia melambai mengucapkan selamat tinggal. Kutatap ia sebentar, dan tiba-tiba sebuah kesadaran muncul, ah bodohnya kamu, kenapa tak pinjam uang sama dia! Benar aku memang bodoh, sudah dua kali.

Beberapa saat, ku sampai di pangkalan ojek. Sepeda motor mereka tersusun rapi seperti pesawat garuda menunggu giliran untuk diterbangkan. Seorang kawan akrab yang berprofesi sebagai tukang ojek bertanya, mau kamana?. Aku bilang kalau aku mau kerumah. Ia hanya mengangguk, karena belum gilirannya ia tak bisa mengantarku, ia lalu mempersilahkan rekannya untuk mengantarku pulang. Lalu aku bilang ke tukang ojek itu bahwa ia harus mengantarku ke rumah lalu kembali lagi ke sini. Tukang ojek menanggapi dengan mengucapkan kata-kata siap dengan sangat mantap. Dalam perjalanan, sebuah kesadaran kembali muncul, ah bodohnya kamu, kenapa tak pinjam uang sama kawan tadi! Fakta memiriskan yang baru saja kusadari adalah ; aku telah melakukan tiga kali kebodohan pada senja ini, dan itu terjadi hanya dalam kurun waktu lima belas menit! Lima belas menit untuk tiga kebodohan! Iiih… mengerikan sekali!

Merasa malu sendiri atas kebodohan yang janggal itu, ku mulai mencari hikmahnya. Tuhan pasti telah mengatur sesuatu karena tak biasa-biasanya aku berlaku bodoh sebanyak tiga kali dalam waktu lima belas menit. Kontemplasi singkat di atas ojek telah mengantarku pada sebuah kesimpulan bahwa uang ampek ribu luruih, kembalian beli susu di minimarket, telah ditakdirkan menjadi rezeki tukang ojek yang sedang mengantarku kali ini. Kenapa harus dia yang beruntung mendapat uang ampek ribu luruih di senja itu? Maka jawaban yang paling mungkin adalah si tukang ojek ini telah bersaha dengan sabar mencari rezeki dari subuh hingga senja, Tuhan memberinya bonus empat ribu rupiah.

Mengenai bonus empat ribu rupiah itu, sungguh di luar kebiasaan bagi seorang tukang ojek profesional. Asal kawan tahu saja, jarang-jarang tukang ojek di lingkunganku itu mendapat empat ribu rupiah dari satu penumpang. Paling, jika selesai mengantar seseorang, dikasih dua ribu, lalu menunggu lama untuk mendapat penumpang dengan tujuan yang searah dengan pangkalan mereka. Kalau bosan menunggu, mereka akan bekeliling di komplek pelan-pelan dengan mata melotot lihat kiri kanan untuk memantau calon penumpang. Jika mereka kembali ke pangkalan tak bawa penumpang, rugi lah mereka. Tak efektif dan efisien ! begitu kata mereka.

…Selamat wahai tukang ojek, engkau dapat kemuliaan dari Tuhan, kemuliaan itu berupa bonus empat ribu rupiah…
Selamat…!
Selamat…!
Selamat ku ucapkan…

2 komentar:

Heru Perdana mengatakan...

mantap,...
saya suka tulisan ini,..
ada beberapa kata yang menarik dan mengelitik dalam tulisan ini,..

isralnaska mengatakan...

tunggu saja tulisan berikutnya, he he he

Posting Komentar

silahkan komentari tulisan ini