###
Seorang muridku, beberapa tahun lampau harus mengakhiri hidup di jalan raya. Pagi-pagi sekali dalam perjalanan ke sekolah Kembali lagi tentang murid malang yang baru saja kuceritakan tadi. Sebelum peristiwa kecelakaan pada pagi itu, setidaknya ia telah mengalami tiga kecelakaan dalam waktu yang berdekatan. “Hanya luka-luka kecil” begitulah deskripsinya tentang kecelakaan yang dialaminya, tak cukup sampai disitu, ia lalu menambahkan “deskripsi luka kecil” itu dengan sedikit senyuman. Berbicara tentang kecelakaan sang murid, dulu sekali di depan mata kepalaku ia terjatuh secara dramatis, tergelincir setelah berlari kencang, daging di bagian tanggannya kulihat terkoyak dan mengeluarkan darah, ngilu melihat darah segar mengalir seperti itu.
Seorang kawan, belajar dengan cara yang aneh. Memang setiap tugas akan selalu bisa diselesaikan. Jika engkau berkesempatan main-main di kampus, lalu melihat seorang mahasiswa sedang tergopoh-gopoh mengejar mobil dosen, sambil mengejar ia berteriak tertahan agak segan-segan dengan suara tercekik, bunyi suaranya seperti ini : “PPPaakkk, pppaaaakkkkk....!”. Lalu mobil sang dosen berhenti, sambil terengah-engah ia akhirnya sukses menyerahkan tugas. Siapakah mahasiswa aneh itu? Itu adalah kawanku! Seperti itulah ia selalu. An Injury Time Student !
Kawanku yang lainnya, hidup berlinang-linang kasih sayang. Dimanapun ia tinggal, disana pula ia punya orang tua dan keluarga baru. Dimanapun ia tinggal, disana pula ia punya banyak kawan-kawan erat. Entah sepeda motornya, entah pakaian yang dikenakannya, entah buku yang dibacanya, itu semua adalah efek samping dari linangan kasih sayang yang selalu diterimanya dimana-mana ia tinggal. Orang-orang sepertinya adalah manusia batang ubi, kan tumbuh selalu ditanah manapun terdampar, atau setidaknya seperti tumbuhan leucas lavanduvolia, tumbuh subur di tepi jalan, di tepi kolam ikan, di tepi sungai dan diamanapun ia ingin tumbuh.
Sepasang suami istri memulai pernikahan dengan cara terkutuk. Ringkas saja, pernikahan pasangan suami istri itu bercita rasa MBA. Pasti kawan cukup kenal dengan istilah MBA itu. Apa yang terjadi setelah itu adalah dua orang lainnya dari keluarga tersebut juga memulai pernikahan dengan cara yang sama. “Parah, betul-betul parah!” Begitulah kesimpulan orang-orang mengenai kelakuan keluarga itu.
###
Aku sungguh tertarik terhadap sebuah teori yang ditulis Andrew Mathews dalam Being Happy. Teori hebat tersebut adalah tentang pola kehidupan. Menurut teori ini, gaya hidup yang dimiliki seseorang adalah hasil dari pola kehidupan yang tertanam dalam alam bawah sadar. Kehidupan seseorang berjalan di atas pola-pola yang telah terbentuk seperti halnya gerakan tangan seorang pebatik yang pasrah pada pola-pola yang telah tergambar pada kain putih. Jika sang murid yang kuceritakan tadi selalu saja mengalami kecelakaan, maka kecelakaan demi kecelakaan yang menimpa sang murid dapat dijelaskan melalui teori ini, bahwa sang murid telah memiliki pola hidup ceroboh yang sangat identik dengan ketidak hati-hatian. Apalagi yang menyebabkan ia sering terlibat kecelakaan kalau bukan sikap ceroboh?.Teori ini juga dapat menjelaskan tentang kawan yang selalu terlambat menyerahkan tugas dan sahabat yang selalu berhasil meraih hati orang-orang disekelilingnya, teori ini juga berlaku pada keluarga yang selalu mengulangi kesalahan yang sama. Itu semua adalah tentang pola hidup, bahwa pola hidup mahasiswa injury time adalah pola menunda pekerjaan dan pola hidup ramah dan menarik hati adalah pola yang tertanam dalam alam bahwa sadar sahabatku yang selalu yang berlinang kasih sayang. Menurut kawan, nama apakah sebaiknya yang kuberikan terhadap pola hidup keluarga yang selalu terlibat peristiwa MBA itu?
###
Malam itu kutemui guru lama bernama Tuan Cati. Kenalkah kawan Tuan Cati? Ku yakin tidak, karena di dunia ini, di antara seluruh makhluk Tuhan, dapat dibilang hanya aku sendiri yang mengenalnya. Supaya kawan tak penasaran, kubuka sedikit saja tentang Tuan Cati, bahwa aku telah bersahabat dengannya semenjak kecil, selalu bisa kutemui kapanpun aku butuh. Jika kami bersua, itu hanya berdua, berdua saja, tak kan ada orang lain, di sebuah tempat yang tak pernah diketahui orang lain. Jika kami bersua, itu artinya ada hal penting yang harus kudiskusikan dengannya…Aku : Apa kabar Tuan Cati?
Tuan Cati : Baik, mengenai keadaanmu aku tak perlu tanya kabar… (datar)
Aku : Maksud Tuan Cati?
Tuan Cati : He he (tersenyum mengejek), engkau itu masih saja pemalas seperti dulu!
Aku : ……… Besok saya akan rajin Tuan.
Tuan Cati : Terserah! Dulu juga bilang begitu.
Aku diam saja tak menanggapi tudingan Tuan Cati. Sebaiknya aku cepat-cepat bertanya sebelum ia hilang mood.
Aku : Menurut Tuan bagaimana terbentuknya pola kehidupan?
Kukemukakan kepada Tuan Cati bahwa pola kehidupan seseorang datang dari kebiasaan yang ia lakukan selama bertahun-tahun. Bukankah seorang bijak yang namanya entah siapa berkata : engkau adalah apa yang telah engkau lakukan bertahun-tahun. Tuan Cati senang mendengar pendapatku dan tentu saja ia setuju. Tuan Cati hanya mengangguk-angguk mendengar pendapatku, lalu ia menambahkan, bahwa kebiasaan sangat erat kaitannya dengan pendidikan yang telah diterima.
Aku : Maksud Tuan?
Tuan Cati : Tahukah engkau bahwa Rasul pernah memerintahkan seorang ayah untuk memberikan “pukulan” kepada seorang anak yang masih tidak mau shalat padahal telah berumur tujuh tahun?
Aku : Aku tahu itu.
Tuan Cati : Rasul ingin membuat sebuah pembiasaan. Pembiasaan akan melahirkan kebiasaan, kebiasaan akan melahirkan pola hidup di alam bawah sadar. Bayangkan jikalau komunikasi dengan Tuhan itu tak dibiasakan semenjak kecil, sulit! Walau nurani butuh, tapi tak berdaya mewujudkannya. Bukankah banyak orang yang selalu mengungkapkan bahwa ia ingin segera dekat dengan Tuhan, tapi tak pernah bisa? Seharusnya orang-orang seperti itu harus terlebih dahulu menghilangkan pola hidup jauh dari Tuhan dan di saat yang sama mengisinya dengan pola hidup dekat dengan Tuhan. bla bla bla.
Panjang lebar Tuan Cati mengungkapkan pemikirannya, tak mungkin kutulis semua, mungkin lain kali saja.
Tuan Cati bertanya lagi
Tuan Cati : Hey ! Tahukah kau apa itu pembiasaan?
Aku : Tidak Tuan.
Tuan Cati : Itu saja tidak tahu!? Bodoh sekali! Itulah yang kalian sebut di luar sana dengan nama PENDIDIKAN.
Kata “pendidikan” yang keluar dari mulut Tuan Cati tiba-tiba mengganjal hatiku. Lalu kutanyakan sesuatu.
Aku : Tuan, apakah kecelakaan maut yang menimpa salah seorang muridku yang ceroboh termasuk salahku juga…?
Tuan Cati : Ya iya lah! Kau kan salah satu gurunya bukan? Tidakkah kau berinisiatif menghilangkan sifat cerobohnya itu? Dasar guru gadungan! Hanya sibuk oleh kewajiban memberikan materi pelajaran! Jangan lagi kau ulangi cara mendidik seperti itu. Menurutku ijazahmu itu dibuang saja ke jurang sitinjau lauik sana!
Terlalu keras tuduhan dan kata-kata Tuan Cati. Aku protes.
Aku : Tak mungkin aku sendiri yang Tuan salahkan, bagaimana dengan orang tuanya atau guru-gurunya yang lain!
Tuan Cati : Terima sajalah faktanya bahwa engkau salah! Sekali engkau beralasan, kutebas lehermu pakai golok!
Aku ngeri melihat Tuan Cati, ia terlihat serius, tangannya juga telah memegang golok, entah dari mana pula golok itu datangnya. Lagi pula memang aku telah salah. Aku diam saja. Menunduk saja. Mendadak sepi.
Aku betul-betul tak menyangka bahwa aku telah memberikan andil atas kematian murid yang malang itu. Seberapa besarkah dosa yang harus kupikul gara-gara itu? Entahlah. Betul juga kata Tuan Cati itu. Jika sebuah masjid dibangun, seseorang menyumbang hanya seratus rupiah untuk pembangunan itu, maka ia layak tercatat sebagai orang yang telah memberikan andil. Sama seperti halnya dengan sebuah kerusuhan, satu kata atau dua kata provokasi saja, walau tak disadari, tetaplah sebuah provokasi, maka si pemiliki kata juga layak tercatat sebagai pemberi andil atas terjadinya kerusuhan itu, walau polisi tak pernah tahu. Bukankah sebutir pasir Sahara bagian yang tak terpisahkan dari Sahara itu sendiri, sehingga layak disebut sebagai pasir sahara?
“Minta ampunlah kepada Tuhan”, nasehat Tuan Cati kepadaku. Kali ini ia berkata lembut. Lalu kujawab saja dengan anggukan.
Jujur saja, tudingan Tuan Cati atas diriku telah membuatku menjadi tak enak badan dan ingin segera pulang saja, menenangkan diri disana sembari minta ampun kepada Tuhan dan berharap dosa ini tak membebaniku esok hari.
Tapi aku harus menanyakan satu pertanyaan lagi.
Aku : Tuan, kulihat seorang Ibu begitu kerepotan melarang anaknya agar tak lagi berusaha menaiki lantai dua sebuah bangunan. Kulihat anak itu bukan tak ingin mendengar larangan ibunya, tapi rasa ingin tahunya lebih besar. Berulang kali ia merengek agar ibunya mengizinkan. Entah apa alasannya, sang Ibu tetap berkata tidak. Akhirnya sang anak nekat saja, tanpa minta izin ia dengan mantap menaiki satu persatu jenjang menuju lantai dua. Si Ibu geram melihat kelakuan anaknya itu. Tiba-tiba sang ibu berteriak : 'awas ada hantu di atas sana, nanti engkau pasti dimakannya! Anak itu pucat dan menangis lalu lari memeluk ibunya. “Tidak Ma…..”. Begitulah kata yang keluar dari bibirnya yang bergetar.
Tuan Cati : Si ibu telah menanamkan pola hidup penakut pada anaknya. Ia sedang berusaha agar anaknya terbiasa untuk takut. Aku tak bisa menerima itu walau apapun alasannya.
Aku : Bagaimana dengan si Anak Tuan?
Tuan Cati : Tahukah engkau, bahwa si anak malang itu kelak akan menjadi generasi penakut, tak berani mencoba hal baru, peragu, rapuh, dan punya rasa ingin tahu yang amat rendah kerena telah dimatikan oleh orang tuanya melalu pertakut hantu. Benar-benar bodoh!
Wahai bocah yang bibirnya bergetar karena ketakutan, malang benar nasib kau nak…
cat : mohon kritik dan saran di facebook atau disini, terima kasih atas kritik dan sarannya...
sumber gambar : www.republika.co.id
1 komentar:
menarik....
Posting Komentar
silahkan komentari tulisan ini